Quantcast
Channel: Addisyn Zariah
Viewing all articles
Browse latest Browse all 105

Ibu, Sa su bisa baca tekarang!

$
0
0


Obaya Zondegau, laki-laki Amungme berperawakan tinggi kurus itu tiba-tiba masuk ke dalam kantor dengan langkah gusar. Dia langsung berdiri di ruangan Administrasi. Ruangan persegi panjang 4 x 10 meter itu berisi tim HRD, tim akomodasi dan travel. Laki-laki dari suku Amungme ini melongokkan kepalanya di loket HRD, kotak berukuran 50 cm kali 100 cm.  Obaya mengenakan kaos hitam bergambar wajah Bob Marley dan dan ganja warna merah, hijau dan kuning yang ditutup dengan jaket hijau lusuh berwarna hijau lumut. Sepintas penampilannya mirip Che Guevara versi Papua.  Dia mengelus-elus brewok keriting yang menutup sebagian besar dagunya. Kedua matanya yang besar mendelik dan bibir tebalnya mengatup. Dia masih berdiri agak membungkuk dan tangannya bersendeku di loket. Dihadapannya dibatasi oleh dinding gipsum berlubang, duduk Nila yang masih tekun menatap lekat-lekat layar komputer. Sudah 5 menit Obaya berdiri seperti itu di depan Nila. Masih mengenakan sepatu safety boot warna coklat muda, kaki kirinya menendang dinding gipsum di bawah loket yang tentu saja membuat dinding gipsum retak. "Sa mau bicara dgn HRD! Kalau ada yang bicara kamu harus dengar" 

Robbie segera keluar dari ruangan HRD menemui Obaya dan mengajaknya ke ruang rapat di ujung kanan selasar kantor. Dia menelpon ruanganku. "Mbak Raisa, bisa ke ruang meeting?” 

Aku segera menutup gagang telpon. Di dalam ruang Robbie dan Obaya duduk berhadapan dibatasi meja persegi panjang besar. 

"Ko siapa?" bentak Obaya sambil menunjuk Robbie "Sa ke sini” katanya dengan suara seperti kumur-kumur sambil menunjuk meja, “ hanya mau bicara dengan orang yang bertanggung jawab dengan penerimaan karyawan”

"Pace, saya yang selama ini urus perekrutan" Robbie kemudian menjelaskan panjang lebar sesuai dengan kebijakan HRD selama ini putra Papua terutama dari 7 suku tiga desa sudah banyak yang ikut tes hanya saja mereka gagal di tes Q & V. 

Obaya menjorokkan badannya ke meja dengan jari telunjuk kanannya diarahkan ke muka Robbie yang duduk di hadapannya. "Ah ko oyame tra bisa tipu-tipu meno!" hardik Obaya. Sa lihat banyak orang baru, oyame semua! Trada meno!! Orang jauh-jauh kalian datangkan dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi. Kami pu ini gunung hanya melihat!” 

Aku melirik ke Robbie, menahannya untuk berbicara panjang lebar karena kelihatan wajahnya mulai merah terpancing bentakan Obaya. "Pace, kita selalu memenuhi aturan komposisi karyawan Papua terutama teman-teman dari 7 suku 3 desa. Pace kemarin ikut meeting toh?"

"Ibu Raisa, ko diam! Jangan putus kalau sa bicara!” tangannya menunjuk ke aku tapi pandangannya ke arah meja. 

Aku kaget, tapi berusaha tenang menampilkan kewibawaanku sebagai HRD. Dalam hati sempat marah karena dibentak karyawan yang hanya lulusan SD, tapi dia dari suku Amungme, si pewaris gunung-gunung emas di Amolepura dan Ibuku selalu bilang, dimana tanah dipijak di situ adat dijunjung. Obaya kemudian bercerita tentang sejarah sukunya. Ada tujuh suku yg dulu tinggal di kawasan tambang Amolepura, Amungme, Kamoro, Ndugal, Moni, Dhani, Damal dan Mee yang sejak tahun 1970an direlokasi dari kawasan konsesi Perusahaan Tambang dan emas ini. Dua suku terbesar adalah Amungme (di dataran tinggi) danKamoro (dataran rendah, Timika). Amungme adalah pemilik hak ulayat gunung-gunung emas. Dalam bahasa mereka, Amungkal, Wilayah ulayat disebut Amungsa, yang diperlakukan sebagai ibu mereka yang harus dijaga kelestariannya. Tetapi tanpa permisi pada si empunya gunung apalagi mempelajari antropolgi dan budaya Amungme, seorang presiden dari tanah Jawa bernama Suharto menandatangani kontrak karya dengan perusahaan tambang dari Lousiana, Amerika Serikat.


“Sejak Amungsa dijual ke Perusahaan, kami terusir, bahkan jika kami ingin melihat ke tempat kami tinggal dulu, Kopasus menghardik!” dia terus meracau tanpa memperhatikan kehadiran aku dan Robbie di dalam ruangan. "Kami dianggap maling di rumah kami!" Mata Obaya berkaca-kaca ingat cerita bapaknya. "Siapa yg tra takut dihardik dengan senjata laras panjang?" 

"Pace bukannya di Banti Waa ada sekolah? Kenapa masih ada yang buta huruf?" tanyaku lembut. 

"Ah itu tekolah baru! Kami bisa pintar kalau tekolah ada sejak dulu! Kenapa kami harus demo dulu baru kalian mendengar kami??" Tanya Obaya dgn mata nanar. Tahun 1996 pernah terjadi demo, teman-teman dari 7 suku tiga desa Arwanop, Banti dan Opitawak datang berduyun-duyun. Sebagian membawa panah  yang diujungnya diberi racun mematikan dari tumbuhan di Banti Waa (lembah) atau racun dari biji bunga Datura. Sebagian sudah sangat marah melemparkan batu sekepalan tangan ke arah kantor utama di MP (mille point) 68.  Karena para manajemen di gedung utama tidak ada yang keluar menanggapi kami. "Kenapa kami harus mengemis untuk dapat kerja di gunung kami?" 
Datura












Demo itu membawa hasil, Perusahaan menerapkan kebijakan memasukkan komposisi karyawan Papua dalam komponen pekerja minimal 20 %. 

"Tapi dari orang-orang Papua tadi, hanya sedikit orang 7 suku yang bisa jadi karyawan! Kami selalu gagal tes! Apa itu tes tipu-tipu! Kami dibolehkan bekerja di sinitapi kami dibatasi dengan tes! Kami tidak bisa baca Ibu!!!" 

Aku menyimak, miris di milenium ketiga ada orang seusiaku yang masih buta huruf, padahal perusahaan tambang emas terbesar di dunia sudah beroperasi lebih 30 tahun. Aku teringat cerita Pak Marno, kolegaku yang sudah bekerja hampir 30 tahun di sini. Sejak tahun 1980 dia dan teman-teman satu timnya diam-diam pergi ke Banti Waa dan Arwanop mengajar anak-anak Papua membaca, berhitung dan menulis. Tetapi Pak Marno malah dicurigai oleh perusahaan, padahal niatnya mulia, membalas kebaikan kepada mereka, si pewaris pegunungan tengah. 

"Mbak, saat saya bergabung, teman-teman Amungme sangat membenci orang Jawa. Orang Jawalah yang menggadaikan tanah mereka ke pihak asing di tahun 1967. Saya hutang pada mereka, saya menghidupi anak-anak saya dari gunung mereka yang sekarang sudah rata" asap rokok menutupi mata Pak Marno yang mulai berkaca-kaca.

Anak-anak kecil yang mungkin sekarang seusia mbak bilang, "Bapa, kami ingin bisa baca, supaya bisa kerja di Perusahaan itu. Bapa teman sa dari Biak yang kerja di situ digaji besar, bisa beli babi banyak" 

"Lho Pak, bukannya perusahaan sudah memberi 1 % keuntungan sebagai kepedulian sosial ke LEMASA?" 

"Ah 1 % itu diserahkan ke LSM di Timika, tapi penggunaanya kurang efektif Mbak. Perusahaan asal ngucurin duit lepas tangan. Mereka juga ingin maju, ingin bisa seperti orang-orang Indonesia yang pintar. Banyak dari mereka sekolah di Yogya, karena ingin membangun tanahnya" 

Pertanyaan Obaya membuatku tersadar dari lamunan.

"Ibu, kami tidak mau dengar lagi tipu-tipu!! Kami ingin 5 orang anak kepala suku ini diterima! Tidak perlu tes!! Tes apa? Mereka tidak bisa baca! Bukan salah kami! Kalau kami pintar kalian tidak diperlukan bekerja di sini!" 

Ada perang dalam batinku sbg HRD, peraturan melawan humanisme, mana yang harus aku pilih? Tes Q & V adalah tes yang harus diikuti orang Papua dari 7 suku yang berasal dari 3 desa. Tes ini diadopsi dari lembaga di Australia yang biasa digunakan untuk orang-orang Aborigin. Untuk kita orang Indonesia pada umumnya yang bisa baca tulis, tes ini sangatlah mudah. Tujuan tes untuk mengetahui kemampuan baca-tulis-komunikasi dan berhitung dasar. Tapi mungkin untuk orang  7 suku yang buta huruf, bahkan baru mengenal bahasa Indonesia, tes ini seperti tes masuk UMPTN yang sulit. Apalagi mereka dites berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Aku dulu pernah tertawa saat mendengar seorang Amungme bicara dengan atasannya "Pace sa trabisa masuk kerja, sa takis" Aku tanya pada foreman atasannya lelaki Papua asal Biak, Franky Rumbewas “Takis itu apa Pace?” “Sakit bu”. 

Begitulah kemampuan mereka memahami bahasa Indonesia, kadang-kadang s dibaca t dan sebaliknya ada pula pengucapan yang berbeda karena itulah yang mereka tangkap saat pendatang bicara dalam bahasa Indonesia. Makin lama aku makin memahami. Dapat dibayangkan jika selama puluhan tahun aku bicara dengan bahasa Jawa Krom Inggil, tapi serta merta dalam waktu cepat sejak ada perusahaan dari luar datang, untuk bisa hidup dan bersosialisasi dengan pekerja pendatang aku harus bisa bahasa yang baru aku kenal?

Terkadang hari Minggu biasanya aku dan teman-teman penggemar fotografi datang ke Desa Banti Waa dan Arwanop membawa permen, puzzle, scrable dan  buku-buku. Di sana selain memotret keindahan alam, sedikit – sedikit aku belajar kosa kata bahasa Amungkal dari anak-anak remaja perempuan yang senang jika dipotret. “Narsisme ternyata sifat fitrah manusia” senyumku dalam hati saat mereka kegirangan melihat wajah mereka di kameraku. Beda dengan orang-orang Wamena, mereka tidak minta bayaran untuk berfoto. Tetapi akan senang jika kami mencetak foto mereka dan memberikan hasil pemotretan itu kepada mereka. 

Keesokan sore, masih mengenakan overal kerja yang coreng moreng dan helm, Obaya membawa 5 orang ke ruanganku. 

“Catat nama mereka Bu! Sa percaya Ibu bisa bantu kami. Mereka anak kepala2 suku, kenapa tra boleh kerja? Jangan sampai ada kekerasan atau duduk manis di tempat kerja!” 

Yang paling kuingat Linus Beanal, dia dulu datang dengan muka sedih dan kepala menunduk. Walaupun belum bekerja, setiap datang ke kantor dia mengenakan sepatu safety boot Perusahaan. Kalau bicara walaupun seperti kumur-kumur dengan suara serak, tetapi penuh kemarahan dan kepedihan. Bibirnya yg tebal bergetar saat bicara. Usianya baru 25 tahun tetapi penampilannya seperti sudah jauh lebih tua dari usia asli. Setiap datang, gaya pakaiannya selalu sama, kaos Papua dan kemeja kotak-kotak lusuh, dengan kupluk warna-warni dan noken warna norak yang ia selempangkan. Linus pernah membentakku di ruangan rapat 

"Ibu dengar sa bicara dulu!" sambil menghentak meja. Jantungku rasanya ikut lompat. Boleh saja Linus buta huruf dan aku lulusan universitas ternama, tetapi di Papua, dia adalah pewaris Amungsa, anak kepala Suku Amungme dari istri pertama. Setelah rapat  dan komunikasi yang alot, Manajemen memutuskan mengirim  Linus dan keempat anak kepala suku lainnya ke pelatihan dasar membaca menulis dan berhitung di QMS (quality management system). Mereka sangat senang diberi kesempatan sekolah. Aku ingat kelima orang itu, Linus Beanal, Pilemon Janampa, Lukas Natkime, Natalis Belau dan Serwanus Wandagau datang ke ruanganku. Kali ini wajah coklat gelap mereka tampak berseri-seri. Mereka berkata dengan bahasa yang sopan. 

"Ibu Raisa, kami terima kasih, kami bisa tekolah"

"Ko jangan malas ya! Sekolah yang rajin, kalau sakit, bilang ke Ibu guru datang ke Rumah Sakit untuk minta surat keterangan dokter”

“Kalau ada perang suku bagaimana Ibu? Kami tra bisa lewat!” 

“Tetap ko lapor, Pace! Tapi kalau ada perang suku kami pasti diinformasikan Tongoi Papua. Ko jangan malas ya! Kami yakin kalian bisa!" kataku menyemangati. 

noken kecil

Aku sempat khawatir jika mereka tidak lulus program ini setelah 3 bulan sekolah. Di luar dugaanku, mereka sangat cerdas dan semangat. Saat mereka lulus, aku seperti seorang ibu yang bangga. Lihatlah, mereka bisa pintar jika diberi kesempatan belajar bahkan beragumentasi dengan gurunya. Beda dengan budaya Jawa yang mengajarkan orang untuk tidak berani mengutarakan pendapat, orang Papua, terutama yang tinggal di Pegunungan Tengah sejak remaja dibiasakan untuk berdebat. Dalam budaya mereka ada prinsip "Setuju untuk tidak sepakat". Ada semacam acara dimana para laki-laki muda berkumpul untuk beragumentasi di suatu hari, walaupun misalnya kemarin sudah ada kesepakatan, besok mereka akan menyanggah hasil kesepakatan itu. Perilaku mereka pun berubah lebih kenal sopan santun. Linus mengundangku ke Banti, istrinya memberikan noken (tas) tanda terima kasih.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 105