Quantcast
Channel: Addisyn Zariah
Viewing all articles
Browse latest Browse all 105

Tikus Gunung (ini memang dunia lelaki!)

$
0
0


Desember yang angkuh dan dingin mulai menunjukkan sifatnya. Setelah tadi pagi dia mengirim kabut putih pekat untuk menutupi gunung-gunung raksasa di sekitar Amolepura, sepanjang hari ini aku tidak diijinkan memandang barang sedetik pun warna hijau bercampur hitam keemasan gunung-gunung besar di hadapanku. Hanya putih yang kulihat dari jendela ini.  Kabut memutihkan Kamis ini.  Lihatlah, sang penguasa bulan makin menunjukkan keangkuhannya tanpa ampun! Menjelang siang dia menurunkan hujan lebat untuk menemani kabut. Putih, dingin, jangan harap ada warna lain muncul
wanagon 

Semalam pastilah hujan datang di sekitar mile 72. Orang bodoh pun akan tahu dengan mudah. Lihatlah, jalan aspal yang biasanya berhias kerikil, hari ini berubah warna menjadi coklat keabuan ditutup lapisan lumpur cair. Kabut, ah kabut, lama-lama aku bergaul akrab dengannya. Pagi ini dialah penguasa hari, gunung-gunung tidak dibiarkan tampil menjadi bagian dari pemandangan alam sekitar mile 72. Hari ini tidak akan berlalu seperti hari-hari lainnya, jam 5 sore nanti aku dan temanku harus mengunjungi lokasi kerja teman-teman kami di dalam gunung, karena itulah mereka menyebut diri “tikus gunung”

Sore hari, masih jam 6, tetapi kabut putih pekat yang sudah turun dan memenuhi lokasi, membuat aku merasa waktu sudah menjauhi malam dan menjelang pagi buta. Sejauh mata memandang dari kaca mobil, aku hanya melihat bangunan-bangunan berwarna hitam dan kabut. Gas putih ini berhasil memotong jarak pandang kami menjadi 7 meter. Di saat sebagian besar orang di belahan dunia lain sedang bergegas untuk pulang ke rumah dari gedung-gedung perkantoran, di sini, di pegunungan sekitar Amolepura, terasingkan dari dunia peradaban, para pekerja tambang bawah tanah gilir kerja malam dengan overall merah mereka menyeret kaki cepat-cepat ke gorong-gorong selebar  5 meter berlumpur berwarna abu-abu, tidak ingin terperangkap dalam dinginnya senja. Mereka menerobos kabut pekat yang kehadirannya semakin menambah kesan suram, dingin dan kaku. Perlengkapan mereka seperti prajurit siap perang : overal,  kacamata gogle, sepatu safety boot selutut yang berat, helm, dan membawa savox (kotak persediaan oxygen) seberat 7 kilogram serta lampu dan baterai seberat 5 kilogram.


Berada di sini, sungguh kita seperti terlempar dari mesin waktu beratus-ratus tahun  mundur  ke belakang. Aku tidak seperti berada di dunia yang sudah menginjak ke abad 21. Ada sensasi seolah-olah aku  berada di sket film-film tentang revolusi industri abad ke 17 seperti film "Oliver Twist" dari Charles Dickens yang pernah aku tonton saat SD atau film-film futuristis tentang bumi di tahun 3000 yang gelap dan minimalis. S-u-r-a-m. Ini memang dunia laki-laki. K-e-r-a-s. Tak terhitung ada berapa kata kasar “f..k” terucap dari mereka saat berbicara dengan rekan kerja. Kehadiran perempuan di sini,  mengingatkan mereka untuk bersikap sopan. Mengingatkan mereka, mereka hidup di dunia peradaban. "Hey, ada rambut panjang!" seru beberapa orang riang. Padahal saat itu rambutku kugelung di balik helm putih yang kukenakan. "Hey ada nona" yang lain menimpali. "Shut! there is a lady here!"sang boss berusaha mengingatkan pekerja expatnya yang barusan mengeluarkan kata "f..." Aku memperhatikan seorang bos expat tua gemuk melakukan "line up", membagi-bagi tugas kepada para bawahannya yang berdiri mengelilingi sang yang bos duduk di atas kursi plastik. Di gorong-gorong ini, diterpa angin dingin, gelap, mereka membagi tugas, mirip mandor dan pekerjanya. Kami seperti berada di dalam kulkas raksasa dengan angin yang keras menerpa wajah kami.

di dalam gunung
Ini harga yang harus dibayar. Berangkat kerja di saat sebagian besar orang di dunia normal beranjak beristirahat di rumah dengan keluarga masing-masing. Mereka baru  memulai hari, bekerja di tempat yang matahari, bahkan 1 berkas cahaya pun, enggan muncul. Melawan kantuk dan jam biologis manusia normal, di saat sebagian besar dari kami berlindung di balik selimut tebal dari dinginnya udara Amolepura. Mereka bekerja hingga subuh menjelang. Datang dan pergi ke lokasi kerja disambut mentari yang bersembunyi di balik kabut. Ini, memang harga yang harus dibayar! Tinggal jauh dari keluarga, demi mengumpulkan pundi-pundi uang. Belum lagi jika ada longsor di Mile 73, mereka harus menahan kerinduan meluruskan badan di kasur. Aku duduk di sini memperhatikan mereka. Pikiran terbawa ke cerita-cerita eyang putriku tentang eyang kakung, (alm.) Salim yang di jaman penjajahan Belanda bekerja sebagai Mantri Kehutanan, penyelia, pembayar gaji para kuli-kuli yang bekerja di hutan jati sekitar alas (hutan) roban,  Jepara dan Cepu. "Eyang Salim, jika kau lihat aku saat ini, apakah engkau bisa tersenyum? Aku  sama seperti Eyang, bekerja di balik hutan ini"

*dedicated to all "tikus gunung" somewhere in papua*

Viewing all articles
Browse latest Browse all 105