Quantcast
Channel: Addisyn Zariah
Viewing all articles
Browse latest Browse all 105

Menggadai Nyawa (1)

$
0
0


Mobil kami mulai menuruni jalan memasuki mile point 71.  Jalan menurun ini menjadi satu dengan jalan di sebelah kiri  tepat di Mile Point 71. Tak jauh dari MP 71 terdapat bangunan sementara markas penjagaan tentara Indonesia dan sebelah kanan terpal-terpal seperti rumah suku nomaden Mongolia yang menjadi markas penjagaan polisi (BriMob). Di depan hanya putih buram kabut dan samar-samar mataku masih melihat bayangan warna hijau yang kuduga pohon-pohon besar di dasar gunung-gunung. Jarak pandang mobil hanya sekitar 7 meter ke depan. Sepanjang jalan aku berdoa, karena diantara miles point 71 dan 70 kami melihat mobil dan truk bertabrakan, truk nyaris terjun ke jurang jika tidak terhalang pipa. Nasib, siapa yang tahu? Itu ada di genggaman Tuhan. Hujan kali ini lumayan deras. Di Amolepura hampir setiap jam gerimis datang tanpa diundang, tetapi jarang menjadi hujan deras seperti di  Jakarta. Keluar dari terowongan Zakham, tidak seperti biasanya aku melihat antrian mobil putih memanjang di depan kami. 

“Wow, gue pikir di sini ngga pernah ada macet” aku terperangah. 
“Perasaan saya ngga enak nih!” Lindi menyahut.
“Ada longsor kah hari ini?” Pak Joshua, rekanku yang bekerja di bagian IR langsung mengontak koleganya di Unit Keamanan Perusahaan.

Kupikir setelah melarikan diri dari Jakarta aku tidak akan melihat kemacetan seperti ini. Tapi aneh aku malah menikmati terjebak di tengah gunung-gunung ini. Kami menyimak pembicaraan Pak Joshua di telpon.

“Kenapa pace?” tanya Robbie yang menyupiri mobil Ford putih yangg kami tumpangi.

“Longsor parah! Ada batu besar jatuh di depan, sekarang tunggu dozzer untuk mengangkat itu batu” 

Kami langsung saling menatap. Ini pengalaman pertamaku terjebak macet karena batu sebesar truk jatuh di tengah jalan bersama materi-materi kecil dan pohon yang menghalangi pengguna jalan. Pak Joshua langsung menghubungi Bagian K3 kantorku untuk menginformasikan longsor di dekat Mile point 69. Sudah pasti pekerja gilir malam yang sedang di tengah jalan tidak bisa bekerja. Kami langsung tercenung dan menghibur diri dengan telephon masing-masing. 

“Nih dengar ya sa pu cerita” Lindi nampak senyum-senyum memecah keheningan di dalam mobil. Di Papua sini kami terbiasa untuk berbagi cerita Mop Papua untuk mencairkan keadaan yang kaku dan menghibur teman-teman. Lindi bukan orang Papua, dia asli dari Menado tapi ayahnya dulu adalah karyawan di sini dan dia pernah tinggal di Amolepura waktu kecil.
“Sa mulai ya? Sa mau cerita sa pu teman, Yaklep. Yaklep, semakin hari semakin nakal saja di sekolah, padahal dia su kelas 3 SMP mau ke SMU, tapi dia pung malas saja minta ampun. Satu kali Yaklep tra pi sekolah, dan esok harinya ibu guru marah dan tanya  ke Yaklep. Yaklep, kenapa kemarin ko tra masuk sekolah? Yaklep dengan masih menunduk menjawab, Sa sakit Ibu! Ibu Guru bingung, Ko ini, kenapa tra kirim surat? Yaklep balas jawab, Percuma saja ! Nanti ibu juga tra mungkin balas mo....?”

Kami di dalam mobil tertawa-tawa melupakan penderitaan menunggu alat-alat berat membersihkan jalan akibat longsor parah.  Pak Joshua tidak mau kalah. 

            “Ah sa ingat satu cerita. Ada pace satu mau naik taksi di Timika..”
            “Taksi? Ada taksi kah di Timika?” tanyaku memotong cerita 

           “Ah mace, ko tra tahukah? Di Timika tong sebut angkot itu taksi!” Linus tertawa-tawa 

        “Itu sudah, sa lanjut lagi ya?” Pak Joshua melanjutkan ceritanya, “..tapi Pace Natalis tra bole dikasi naik sama sopir karena bawa anak babi. Lalu Natalis kasi masuk anak babi ke dalam karung baru kasi stop taksi yang lain. Si supir taksi tanya ke Pace Natalis itu apa di dalam karung? Pace Natalis kasih jawab Nangka pace. Supir langsung jawab ooh, naik sudah. Pace Natalis pun naek. Di dalam taksi terdengar suara babi ngorok, groook, groook. Satu taksi kaget semua. Supir marah sambil menengok ke belakang. PACE!! Ko bohong! Tadi ko bilang itu karung isi Nangka! Pace Natalis malu tapi dong tra hilang akal, ah, tidaaaa,  sa tra bohooong. Itu sa pu babi memang namanya Nangka”

Kami semua tertawa-tawa. 
         "Hahahaa Kak Joshua, ko bole!" Linus mengacungkan jempol ke bosnya. 

            “Ada satu lagi. Ada satu Pace, Alpeanus pu anak Yeremias, dong tanya dong pu anak yeremias kenapa ko menangis?  Yeremias bilang ibu guru bilang sa bodoh Bapa. Yeremia bela dong pu anak, ko tra bodoh! Sa beri pelajaran itu oyame tra sopan!!! Pace Alpeans bawa parang ke rumah ibu guru. Di depan rumah guru, keluar laki-laki tegap memakai seragam tentara. Pace tentara tanya, meno ada apa kau kemari bawa parang? Melihat suami bu guru tentara indonesia, ciutlah nyali Pace Alpeanus. Pace Alpeanus jawab ah trada apa-apa bapa, sa mau tanya jadwal kerja bakti kapan?”

            “Hahahaha” aku dan teman-teman tertawa. 

Temanku Linus tidak mau kalah, “Ini sa pu cerita. Pace Koletius pergi ke pace dokter. Sampai klinik dokter dia bilang, “Bapa doser, saya takis, su demam 3 hari. Pace Dokter jawab saya periksa dulu ya. Dokter memeriksa dengan termometer dan kemudian menyiapkan jarum suntik. Korinus takut lihat jarum suntik dia bilang bapa doser, saya takut disuntik, ko taruhlah itu obat suntik di dalam gelas, lalu saya minum, sama saja to?”

Dua setengah  jam lebih di tengah-tengah kepungan gunung-gunung, menunggu buldozer membersihkan jalan akibat longsor. Beberapa orang turun dari bis sudah tidak tahan terjebak karena longsor di tengah malam minggu yang dingin. Sementara kami sudah membayangkan diri pulang cepat dan memanjakan masakan Indonesia yang lezat hasil olahan istri-istri karyawan yang dijual di Cafe Honai. Dari sore tadi di kantor aku membayangkan Coto Makassar, Pisang Hijau, Bakso unyil Bandung dan wedang ronde. Kami di dalam mobil sini sudah mati gaya. Aku chatting di msn, update status di Facebook, dengar teman di mobil cerita humor papua, sampai chatting dengan teman-teman SMA di Jakarta melalui bbm Grup yang membahas artis yang selingkuh. 




Dalam keadaaan seperti ini smarthphone memang benar-benar menjadi sahabat terbaik bagi mereka yang berada di daerah terpencil untuk tetap terkait dengan dunia luar sekaligus tidak mati gaya, seperti keadaanku saat ini. Tiga puluh menit kemudian aku merasa ada di dalam setting film horor Hollywood, di tengah-tengah Pegunungan Tengah, hutan Papua, hujan, gelap, kabut, dan para kolega pria di dalam mobil menambah kengerian dengan berbagi cerita kisah horor yang terjadi di sekitar Amolepura, seperti seringnya penampakan dan suara-suara aneh di Barak laki-laki dan Mile point 74 di bawah gunung-gunung sana.

“Ini masih berapa lama lagi ya Pak Josh?” tanyaku memecah kesunyian. Saat beberapa temanku mengantar Lindi buang air kecil di tengah jalan, karena tidak bisa menahan air seninya. 

“Saya terima informasi dari Unit Tanggap Darurat saat ini sudah ada 6 alat berat yang sedang membersihkan batu dan tanah yang menutup jalan di Mille point 69"

Aku berpikir apakah harus berjalan seperti teman-temanku? Masih ada 1 mil lagi. Itu setara dengan 1609 meter lagi, di tengah hujan, lumpur, dingin dan jalan yang licin. Teman-temanku yang tadi sudah jalan meninggalkan bisa bilang ada 1 pohon besar yang tumbang, salah satu teman kami, Nila jatuh karena jalanan sangat licin di dekat batu besar yang jatuh di tengah jalan. 

“Mungkin sekitar 30 menit lagi Raisa, sabar ya, kita tunggu informasi lebih lanjut dari Unit Tanggap Darurat” jelas Pak Joshua seperti bisa membaca pikiranku. 

Aku tahu, resiko seperti ini akan aku hadapi saat memutuskan akan bekerja di sini. Jadi lebih baik aku diam dan tidak memberitahu ibuku. Apalagi aku dulu yang tetap keras kepala pergi ke Papua walau Ibuku sudah berusaha menahanku dan mempengaruhi kesembilan kakak laki-lakiku menerima tawaran kerja di Papua. Aku malah takut ibu tidak bisa tidur karena khawatir yang berlebihan. Ibuku itu mudah panik. Yang tidak bisa aku tahan untuk tidak update di status Facebookku, "Terjebak di tengah pegunungan! LONGSOR!!!" Dalam hitungan detik teman-teman Facebook pun ramai berkomentar dan mendoakanku. Ada juga yang melucu menyarankan aku membeli jagung bakar dan teh hangat. 

“Lo pikir ini Puncak, San?” aku ketik komentar di facebook dengan emoticon tertawa. 

Untunglah sekitar 20 menit kemudian kami sudah bisa jalan. Aku baru tiba di barack C lewat dari jam 9 malam dalam keadaan lapar, lelah, kaki kesemutan dan kedinginan. Bagaimana caranya menenangkan perut yang keroncongan, sementara messhall sudah tutup dan jajanan di Cafe Honai sudah habis? Aku hanya bisa berkhayal saat ini ada jajanan yang lewat mie tektek atau bakso malang lewat di depan Barrack. Segera kupendam khayalan tak sehat ini. Saat aku bersikeras dan meyakinkan Ibuku aku akan baik-baik saja bekerja di daerah terpencil ini,  aku sudah sadar akan semua resiko dari keputusan yang aku ambil. Bukan hanya petualangan, gaji besar dan kisah seru yang akan kutulis menjadi novel. Bekerja dan hidup di Amolepura berarti siap menggadaikan nyawa. Ada banyak resiko yang harus kami hadapi, resiko alam yang sering longsor jika hujan deras, bahaya bekerja di ketinggian, keracunan gas, penembakan tidak jelas dan lain-lain yang tidak ditemui para pekerja di Sudirman Jakarta. Terbayang jika mobil kami pulang lebih awal 30 menit tadi sore. Tuhan masih baik, Dia masih  memperpanjang masa hidupku. Di bawah pancuran air hangat, aku mulai berandai-andai. Bagaimana jika batu besar itu jatuh menimpa mobil kami? Apa yang terjadi jika batu besar itu jatuh di depan mobil kami dan Robbie tidak bisa mengendalikan mobil sementara jalan di sini sempit dan sebelah kanan jurang? Tuhan masih melindungi kami. Aku memutar kran air seolah ingin mencuci otakku yang berpikiran horor.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 105