Quantcast
Channel: Addisyn Zariah
Viewing all articles
Browse latest Browse all 105

Papua, here I come!

$
0
0

Akhirnya di penghujung tahun 2010, aku memulai hidup baru sebagai pekerja di pulau paling timur Indonesia. Jangan kira prosesnya mudah. Aku harus melewati perijinan dari ibuku yang agak alot proses negosiasinya. Padahal dari segi usia aku sudah sangat dewasa, sayangnya aku adalah anak bontot diantara 10 bersaudara yang masih belum menikah. Ditambah lagi saat itu saluran TV berita sedang gencar-gencarnya memberitakan kekerasan atau peristiwa tewasnya beberapa karyawan di daerah tambang tempat aku akan bekerja. Wajar saja ibuku ketar-ketir anak bungsu perempuan satu-satunya yang belum nikah ini mau kabur ke pedalaman Papua. Dalam bayangan Ibuku Papua adalah hutan rimba yang penduduk laki-lakinya masih mengenakan koteka.

Aku masih ingat betapa panjang dan sulitnya proses perijinan dari ibu tercinta untuk bisa meninggalkan kota Jakarta yang sudah menjemukan. Saat itu Ibuku sedang asyik menonton sinetron tentang putri yang tertukar, aku sendiri kurang mengerti si putri dalam sinetron tertukar dengan apa, tapi aku berharap bukan tertukar dengan kucing hehee. Ibu duduk di sofa empuk, sambil mulutnya sibuk menguyah manding (sejenis kacang-kacangan yang mirip kuaci oleh-oleh tetangga dari Ngawi, desa di pinggiran Sungai Solo, Jawa Tengah) dan mengelus-elus Bobi kucing gendut yang  bercita-cita menjadi Garfield sejak dia ikut menemani aku menonton film Garfield yang tersesat di UK. Sejak hari itu Bobi berubah sikap, dia hanya mau tidur di tempat tidur, ikut menonton TV di sofa, sering minta makan dan jadi lebih manja.

Aku mendekati ibu. Bobi yang mudah kaget langsung mendongakkan kepalanya, membuat ibu yang sedang  khusyuk menyimak si Putri yang tertukar menoleh ke aku walau hanya 1 detik dan kembali tertegun melihat adegan Putri yang sedang disiksa. 

Ono opo ndok?” tanya nyokab dengan logat Jawa medok mirip Titik Puspa tanpa mengalihkan mukanya dari layar kaca. 

“Gini Bu, Raisa mau pindah kerja ke Papua nih” 

“Ah ngapain ke Papua? Cari uang kok jauh-jauh amat tho ndooooook! Lha wong yang di Jawa, Sumatra, Kalimantan, semuanya pada datang ke Jakarta untuk kerja, kamu malah ngumpet ke hutan!” Nyokab geleng-geleng kepala. “Iki piye tho, dunia wes kewolak-walek. Mas-masmu yang 9 ekor itu eh 9 orang itu aja kerjanya di kota besar, kamu perempuan kok malah hobi tinggal di alas!” ibu menguyel-uyel rambutku. 

“Tapi bu, kerjanya kan ngga terus-terusan, 2 bulan sekali Raisa bisa balik ke jakarta, bisa nemeain Ibu kemana-mana, jaga rumah. Kalau kerja di Sudirman, Raisa juga jarang ketemu Ibu”
“Ah tapi  Papua iku jauh lho ndok, terus kalau Ibu lihat di berita-berita kesannya ndak aman, Ibu iki wes tuo. Bapakmu sudah ndak sehat. Gimana kalau ada apa-apa, ibu di sini ngga tenang. Apa kamu suka bikin ibu sport jantung terus?” Ibu berusaha beragumen.
“Ibu, Raisa kan tinggal di fasilitas perusahaan dengan petugas keamanan ratusan orang, ada tentara, polisi,  insya Allah aman Bu, lagian ingat kata ustad, dimana pun kita berada kita bisa mati” kataku berusaha bijaksana, maklum, beberapa tahun ini Ibu sedang gemar mengikuti pengajian, jadi aku pikir pendekatan keagamaan ini akan membuat hati ibu luluh.
 
“Ya tapi kan lebih baik kita berusaha mengantisipasi tho ndok. Ingat nasehat Nabi Muhammad ke seorang Badui yang kehilangan unta karena lupa mengikat untanya di mesjid” Aku menggaruk-garuk kepala Bobi, mau minta ijin kerja ke Papua kok sampe repot mengutip hadis Nabi. 

“Tapi bu, gajinya kan lumayan, Raisa bisa bantu Ibu naik haji” mataku berbinar-binar, mirip petugas penjualan asuransi.
Ndok, ndok, kakakmu itu ada 9 orang, Ibu bisa minta tolong mereka!”
“Etapi Bu, bayangkan, di sana ada ribuan karyawan laki-laki, mungkin Raisa bisa ketemu jodoh di sana!” akhirnya kukeluarkan jurus terakhir, jurus yang menurutku jitu mengingat Ibu sangat memimpikan anak bungsu dan satu-satunya perempuan ini bisa menikah secepatnya. 

Iman ibu kelihatan mulai goyah, terlihat mulai tidak fokus menyimak adegan Putri yang tertukar dan beberapa kali menyebut "Astaghfirullah Yaa Gusti, punya anak wedok satu kok ya seperti ini!". Aku senyum-senyum, merasa telah memenangkan argumentasi yang cukup alot dan tidak seimbang ini, bagaimana pun posisiku adalah anak. “Yo wes, Ibu mesti rembukan karomas-mas mu yo?” 

Demikianlah. Setelah pembicaraan panjang lebar dengan ibu, bukan berarti otomatis aku mendapatkan ijin dari beliau. Setelah sinetron selesai, Ibu langsung mengambil buku telepon dan sibuk memencet tombol di telepon menghubungi kakak-kakak untuk mendengarkan pendapat mereka. Terbayang betapa repotnya beliau, harus mengulang cerita yang sama 9 kali, demi mendengar pendapat terbaik untuk memutuskan melepaskan anak perempuan satu-satunya ini ke rimba Papua. Aku sempat mengusulkan ibuku untuk mengirim email ke kakak-kakakku, cukup menulis cerita satu kali, dan mengklik tombol "copy" dan "paste" atau langsung kirim email ke semua kakak-kakakku, tapi beliau menolak, "bahasa lisan itu lebih ekspresif dari bahasa tulisan" katanya.

Ibuku ini termasuk orang yang mudah panik dan kaget, tapi untungnya tidak latah. Mungkin lucu ya mendengar orang Jawa latah? Sudah kebiasaan ibu membutuhkan konsentrasi tingkat dewa saat bertelepon, tidak boleh ada suara lain, termasuk suara dari televisi atau suara pembicaraan orang di dekatnya. Biasanya kakak nomor 4, Septian yang menggoda Ibu saat sedang menelepon.

Ibu kelihatan senang saat selesai menelpon kakak nomor satu dan mulai menghubungi kakak nomor 2. Dengan sabar dia mulai berbasa -basi dan mengulang kembali cerita yang tadi dan diceritakan ke kakak nomor 1.

"Bu, gunting di mana ya? Biasanya ditaruh di lemari perkakas?" tanyaku.

"Oo tadi ibu pakai. Di kamar ibu!"

Aku melirik ibu, konsentrasi belum terpecah. Ibu nampak tersenyum sumringah mendengar cerita kakakku tentang 3 anaknya.

"Benang ditaruh di mana bu?"

Ibu kelihatan mulai gundah, "Opo tho? kamu ini kayak orang baru aja, di lemari perkakas coba cek!"

Aku mulai senyum-senyum dan membiarkan ibu menyelesaikan pembicaraannya dengan kakak nomor 2. Aku lihat ibu mulai sibuk lagi memencet nomor telepon, kali dia ibu menghubungi kakak nomor 4, melewati kakak nomor 3 karena saat ini di Melbourne sudah tengah malam.

Kembali ibu memulai percakapan dengan basa-basi yang dilanjutkan dengan cerita rencanaku pindah kerja ke Papua. Sedang asyik-asyiknya beragumentasi dengan Mas Seno, aku tiba-tiba muncul di ruang tengah, "Ibu, frieskies Bobi ada dimana ya?"

"Di dapur tho, di lemari atas kanan!"

"Ngga ada!" suaraku sok serius mencari-cari di lemari

"Moso? mbok dicari lagi, ini ibu lagi telpon"

Aku mulai menahan tawa.

"Se' se', tadi aku sampai mana Sen? Iku lho adikmu Raisa, gendeng!" kudengar Ibu berbicara dengan Mas Seno. 

Kelihatannya konsentrasi ibuku mulai morat marit dengan sukses dan beliau harus mengulang cerita dan curhatnya itu beberapa kali, "Hus! Ibumu ini lagi nelpon kangmasmu yang di Paris! Mahal iki!" 

Aku cuma bisa cekikikan lari ke dalam kamar sambil mendengar ibu mulai mengulang lagi kronologis alasan aku ingin pindah ke Papua.

Catatan  
1. Ono opo ndok? bahasa Jawa artinya ada apa nak (untuk perempuan)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 105