Tibalah hari yang mendebarkan! Hari yang aku tunggu-tunggu selama 2 minggu terakhir. Perjalananku ke Papua! Tidak seperti biasanya aku agak gugup, menyadari ini bukanlah traveling yang hanya temporer. Minimal aku tinggal di sana selama 3 bulan dan baru bisa menjejakkan kakiku lagi ke Jakarta. Seharusnya malam ini aku naik pesawat perusahaan, Airfast, tapi karena ada masalah teknis, terpaksa harus naik Garuda Indonesia. Perjalanan ke Papua ini menurutku perjalanan domestik yang memakan waktu terlama yang pernah aku lakukan. Berangkat pukul 10 malam dari Bandara Cengkareng, pesawat Garuda yang akan aku tumpangi akan menyentuh landasan di Bandara Timika sekitar jam 6 pagi dengan transit di bandara internasional Ngurah Rai, Bali. Uhm, kurang lebih sama dengan perjalanan Jakarta-Sydney. Betapa Indonesia sangat luas dan lebar! Kalau sudah begini, semua hal dari pelajaran Geografi bukan hal yang sulit untuk dimengerti. Benar kan ilmu geografi sangat bermanfaat bagi mereka yang sering traveling ke tempat yang sangat berbeda.

Syukurlah, akhirnya aku sampai dengan selamat di Bandara Sentani, Jayapura. Bandara terkecil yang pernah aku lihat setelah bandara Langkawi di Malaysia. Yang sangat menarik, sebelum pesawat turun tadi aku sempat melihat surau kecil, ternyata ada juga muslim di daratan Papua. Ciri khas bandara ini adalah patung Asmat ukuran besar di depannya, dan yang cukup mengagetkan tanda larangan "Dilarang menguyah pinang di sini". "Wow, hari geni, masih banyak orang yang memakan pinang di sini?" aku keheranan dalam hati. Aku pikir hanya eyangku saja di zaman modern ini yang masih mengunyah sirih dengan pinang dan kapur. Beberapa laki-laki Papua duduk lesehan di lantai menjual pinang dan kaos Papua. “Uhm, sekilas mirip bandara Darwin di Australia Utara” bathinku mengingat pemandangan aneh yang aku lihat di Bandara Darwin 4 tahun lalu. Dua orang ibu-ibu Aborigin duduk di lantai Bandara di dekat meja check in.
Pesawat Garuda yang kutumpangi hanya transit di sini, sebelum 30 menit kemudian terbang ke tujuan akhir, Timika. Dari jendela pesawat, aku melihat beberapa polisi Papua dan non Papua sibuk tergopoh-gopoh, rupanya ada pejabat yang datang ke Papua, mereka tampak sibuk mengawal sang pejabat dan istrinya. Kurang dari 1 jam kami sampai di Timika yang ternyata sangat panas, seperti berlomba dengan Jakarta. Aku melihat perbedaan cukup mencolok dengan Bandara Sentani, di sini lebih modern, lebih besar dan bersih dan beberapa tentara terlihat di beberapa titik. Sayangnya karena sudah terlalu siang dan jadwal penerbangan chopper (helikopter) sudah ditutup karena cuaca di atas berkabut, dengan terpaksa aku harus menginap sehari di Timika. Kota ini jelas kota yang terbentuk akibat percampuran dengan budaya para pendatang, terutama budaya dari Indonesia Timur/ Sulawesi dan Jawa. Agak sulit untuk melihat ciri khas Papua di kota kecil ini, karena pendatang dari Indonesia Timur, terutama Makasar dan Menado, sangat mewarnai Timika. Aku sempat jalan ke pasar Timika, sempat disorientasi, apakah benar aku ada di Papua atau di Makassar? Karena pedagang di pasar kebanyakan orang Makassar, dan pedagang restoran kecil kebanyakan dari Jawa Tengah. Ingin aku berteriak ke ibuku dan menelponnya “Bu, ada orang Solo di Papua!!” Tentu saja hal itu tidak aku lakukan, "hehe senorak itu kah gue?" senyumku dalam hati sambil menikmati bakso solo.
Keesokan harinya, aku harus bangun sebelum subuh, tidak ingin telat sampai di Bandara Moses Kilangin, karena aku bisa kehilangan kesempatan untuk diangkut dengan chopper ke Amolepura. Di sini, informasi cuaca sangat berarti. Masih terbayang sekitar 2 tahun lalu saat aku ditugaskan pergi ke Matak di kepulauan Natuna, Riau. Aku ingin sekali terbang dengan helikopter kecil (berpenumpang 4 orang) menjelajah ke beberapa pulau di Natuna dan off shore perusahaan tempat aku bekerja saat itu.
Aku makin percaya dengan salah satu falsafah hidupku, "Jika memang sesuatu sudah menjadi takdir, akan ada lagi kesempatan kesekian yang datang dalam hidup kita dengan bentuk yang lebih bagus" yang harus aku lakukan hanyalah tidak berhenti bermimpi jika itu memang yang aku inginkan. Kejutan yang indah dari penguasa alam semesta, kesempatan naik chopper akhirnya terjadi 2 tahun kemudian di perusahaan yang berbeda. Pemandangan di bawah jauh lebih mengagumkan. Otakku yang hobi mengkhayal serta merta melompat ke komik “Tintin”. Aku merasa ada di dalam komik petualangan tersebut, ke wilayah eksotis tambang emas di Afrika Selatan. "Oh Tidak gue masih di Indonesia!!" aku tersenyum-senyum riang mengintip pemandangan dahsyat pegunungan tengah Papua dari jendela helikopter. Sempat norak untuk pertama kali, mesti menulis status di Facebook dan nyaris lupa membaca doa perjalanan. Untunglah, walau tadi chopper nyaris mendarat di atap hanggar, karena kabut pekat, akhirnya, yah akhirnya, helikopter berpenumpang 22 orang ini berhasil mendarat di landasan yang seharusnya dan aku berhasil menjejakkan kaki di tanah Amolepura. Amolepura sendiri diambil dari kata Amole yang dalam bahasa suku Amungme berarti salam damai/ terimakasih. Tempat ini seperti surga, gunung-gunung batu besar berwarna hitam gelap bermuatan emas dan tembaga yang tiada henti mengucurkan air-air terjun ke sungai-sungai di sekitarnya. Pemandangan di sini bagai dilukis maestro seni yang dipamerkan museum-museum seni di Paris dan Amsterdam. Ah, Tuhan pasti menciptakan Amole dengan penuh senyum, setiap detilnya begitu indah dan sempurna.
Aku makin percaya dengan salah satu falsafah hidupku, "Jika memang sesuatu sudah menjadi takdir, akan ada lagi kesempatan kesekian yang datang dalam hidup kita dengan bentuk yang lebih bagus" yang harus aku lakukan hanyalah tidak berhenti bermimpi jika itu memang yang aku inginkan. Kejutan yang indah dari penguasa alam semesta, kesempatan naik chopper akhirnya terjadi 2 tahun kemudian di perusahaan yang berbeda. Pemandangan di bawah jauh lebih mengagumkan. Otakku yang hobi mengkhayal serta merta melompat ke komik “Tintin”. Aku merasa ada di dalam komik petualangan tersebut, ke wilayah eksotis tambang emas di Afrika Selatan. "Oh Tidak gue masih di Indonesia!!" aku tersenyum-senyum riang mengintip pemandangan dahsyat pegunungan tengah Papua dari jendela helikopter. Sempat norak untuk pertama kali, mesti menulis status di Facebook dan nyaris lupa membaca doa perjalanan. Untunglah, walau tadi chopper nyaris mendarat di atap hanggar, karena kabut pekat, akhirnya, yah akhirnya, helikopter berpenumpang 22 orang ini berhasil mendarat di landasan yang seharusnya dan aku berhasil menjejakkan kaki di tanah Amolepura. Amolepura sendiri diambil dari kata Amole yang dalam bahasa suku Amungme berarti salam damai/ terimakasih. Tempat ini seperti surga, gunung-gunung batu besar berwarna hitam gelap bermuatan emas dan tembaga yang tiada henti mengucurkan air-air terjun ke sungai-sungai di sekitarnya. Pemandangan di sini bagai dilukis maestro seni yang dipamerkan museum-museum seni di Paris dan Amsterdam. Ah, Tuhan pasti menciptakan Amole dengan penuh senyum, setiap detilnya begitu indah dan sempurna.
