Aku tidak pernah membayangkan jika suatu hari dalam hidupku akan menginjakkan kaki ke daratan Papua, apalagi untuk bekerja ke pulau yang dalam pelajaran IPS sewaktu SD digambarkan hanya didiami 2 orang per kilometer persegi dan masih hidup dalam rumah berbentuk seperti jamur, sama seperti rumah-rumah yang aku lihat di komik Smurf. Sejauh-jauh aku terbang berkeliling Indonesia, mata sipitku baru beruntung melihat titik nyaris paling utara di Indonesia, Natuna dan paling timur hanya mengintip keindahan alam Lombok. Walaupun aku hobi backpacking ke mana-mana dan mandiri, bahkan kaki kecilku ini sudah menjelajah hingga ke benua Eropa, Papua tetap terkesan jauh dan asing.
Tahun ini aku sudah menginjak usia 30 tahun, usia yang untuk kalangan aktris wanita sudah masuk usia tua, apalagi di Indonesia, biasanya aktris usia 30an sering berperan ibu-ibu dengan anak ABG, tetapi di mata ibuku, aku tetaplah si anak bontot dari 10 bersaudara. Ya, 10 bersaudara, nyaris saja keluargaku membentuk kesebelasan jika Ibu gagal berdisiplin melakukan KB sistem kalender. Orang-orang bilang aku adalah anak yang sudah tidak diharapkan datang, karena gagal dengan KB sistem kalender, Ibu ingin memakai sistem spiral. Untungnya sebelum Ibu pergi ke Bidan, janinku dengan manis sudah berdiam di rahim Ibu. Kejutan juga untuk Ibu dan ayahku, aku menutup serentetan anak laki-laki yang dimiliki keluarga Kromodikoro dengan ujung yang manis, satu bayi perempuan diantara sembilan laki-laki lincah bagai pinjal, setidaknya begitulah yang diharapkan ayah dan ibuku.
Setelah membanding-bandingkan dengan ibu teman-temanku, dapat dipastikan ibuku adalah ibu terbaik dan tersubmisif yang pernah ada di planet bumi ini. "Psst tapi jangan bilang-bilang nyokab gue ya, ntar dia bisa GR dan tiba-tiba berubah seperti nyokab-nyokab yang cerewet. Yah pokoknya doski tuh tipikal ibu Jawa yang polos dan lugu. Ngga pernah dia berani ngelarang-larang atau ngomong ngga, dia terlalu percaya sama anak-anaknya, dan sangat menyayangi anak-anaknya. Untungnya emang gue ini tipikal anak yang ngga neko-neko, datar-datar aja, dan ngga mau manfaatin nyokab yang baik dan polos” aku berusaha memulai cerita dalam buku harianku.
Walaupun agak malu, terpaksa aku harus mengaku, aku, Raisa Kromo adalah tipikal anak kota, yang sedari lahir hingga remaja menghabiskan waktu di kota yang semakin sering kujelajahi banyak kota dunia, semakin lama kurasakan Kota Metropolitan ini semakin kesulitan menanggung segala permasalahan hidup penduduknya. Jakarta semakin sumpek, macet dan kumuh. Kalau ada pemilihan penduduk tersabar di dunia, aku yakin, warga Jakarta dan sekitarnya akan jadi pemenang, warga yang super sabar melihat kemacetan yang berulang dan tidak dibenahi setiap pagi dan sore. Anak Jakarta adalah anak mall, kami besar di Mall, tidak bisa hidup tanpa sekali seminggu memeriahkan Mall/ Plaza di Pusat kota bersama teman-teman atau pacar. Sedari kecil aku sudah terbiasa dengan mall. Jaman aku kecil memang belum ada mall seperti Senayan City. Saat itu hanya ada Ratu Plaza dan Aldiron di Blok M) walaupun aku juga bukan anak mall beneran, tapi harus kuakui hidup tanpa mall adalah hidup yang hampa, contohnya nih saat harus kuliah dulu di suatu kota di Jawa Barat, saat itu mall cuma ada satu di dekat kampus, aku dan teman-teman Jakartaku sudah ngga betah, setiap satu bulan sekali kami dengan riang gembira memenuhi Kereta Parahiayangan. “Apalagi nanti harus kerja di Papua? Mall aja sebiji ngga ada!” aku mendelik membayangkan kehidupanku nanti di sana sambil menatap langit-langit kamar yang baru kucat berwarna biru muda.
Setelah membanding-bandingkan dengan ibu teman-temanku, dapat dipastikan ibuku adalah ibu terbaik dan tersubmisif yang pernah ada di planet bumi ini. "Psst tapi jangan bilang-bilang nyokab gue ya, ntar dia bisa GR dan tiba-tiba berubah seperti nyokab-nyokab yang cerewet. Yah pokoknya doski tuh tipikal ibu Jawa yang polos dan lugu. Ngga pernah dia berani ngelarang-larang atau ngomong ngga, dia terlalu percaya sama anak-anaknya, dan sangat menyayangi anak-anaknya. Untungnya emang gue ini tipikal anak yang ngga neko-neko, datar-datar aja, dan ngga mau manfaatin nyokab yang baik dan polos” aku berusaha memulai cerita dalam buku harianku.
Walaupun agak malu, terpaksa aku harus mengaku, aku, Raisa Kromo adalah tipikal anak kota, yang sedari lahir hingga remaja menghabiskan waktu di kota yang semakin sering kujelajahi banyak kota dunia, semakin lama kurasakan Kota Metropolitan ini semakin kesulitan menanggung segala permasalahan hidup penduduknya. Jakarta semakin sumpek, macet dan kumuh. Kalau ada pemilihan penduduk tersabar di dunia, aku yakin, warga Jakarta dan sekitarnya akan jadi pemenang, warga yang super sabar melihat kemacetan yang berulang dan tidak dibenahi setiap pagi dan sore. Anak Jakarta adalah anak mall, kami besar di Mall, tidak bisa hidup tanpa sekali seminggu memeriahkan Mall/ Plaza di Pusat kota bersama teman-teman atau pacar. Sedari kecil aku sudah terbiasa dengan mall. Jaman aku kecil memang belum ada mall seperti Senayan City. Saat itu hanya ada Ratu Plaza dan Aldiron di Blok M) walaupun aku juga bukan anak mall beneran, tapi harus kuakui hidup tanpa mall adalah hidup yang hampa, contohnya nih saat harus kuliah dulu di suatu kota di Jawa Barat, saat itu mall cuma ada satu di dekat kampus, aku dan teman-teman Jakartaku sudah ngga betah, setiap satu bulan sekali kami dengan riang gembira memenuhi Kereta Parahiayangan. “Apalagi nanti harus kerja di Papua? Mall aja sebiji ngga ada!” aku mendelik membayangkan kehidupanku nanti di sana sambil menatap langit-langit kamar yang baru kucat berwarna biru muda.
Bicara tentang Papua, aku percaya jika sesuatu sudah dua kali datang dalam hidupku, yang ketiga akan menjadi nyata/ milik dalam hidupku walaupun tidak tahu berapa lama sesuatu itu menjadi milikku. Jika sesuatu sudah ditakdirkan hadir dalam hidup kita, dia akan datang masuk ke dalam hidup kita dalam waktu yang tepat dan bentuk yang lebih baik. Sekitar 2 tahun yang lalu aku pernah mendapat tawaran kerja di Papua, di daerah Timika, saat itu aku belum tahu Timika adalah daerah dataran rendah yang sangat panas di Papua. Aku ingat sekali kebetulan TV TwentyOne, TV favorit Ibuku sedang mempertontonkan gambar berita perang suku di Timika. Ssejak ibuku pensiun, selain mengurus suami yang stroke dan kucing-kucing, ibu senang update berita-berita politik. Sinetron? Ibuku sebenarnya ngga terlalu suka, cuma kalau adiknya ngomporin untuk nonton sinetron saja dia jadi ikut-ikutan, yah mirip ababil gitu deh, yang ada tiap malam mesti ngikut mantengin televisi menonton sinetron yang akan diikuti dengan diskusi di telpon membahas tokoh-tokoh di sinetron barusan.
Tapi aslinya acara yangibuku suka acara berita di TV TwentyOne dan saat aku menerima tawaran kerja di Papua yang pertama, TV berita yang kadang-kadang mirip infotainment itu beberapa kali menayangkan berita perang suku Amungme dan Kamoro di Papua, dan yang terakhir yang paling melekat di memori otak ibuku penembakan di Amole, lahan tambang emas terbesar di Indonesia, penghasil emas nomor dua terbesar di dunia. Berita itu muncul bersamaan dengan saat aku mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan alat berat dari Swedia untuk penempatan di Timika. Tepat saat mau mulai bicara ke Ibu, tepat berita sore TV TwentyOne menayangkan gambar bis karyawan perusahaan tambang di Papuayang salah satu penumpangnya, guru sekolah asal Australia tewas tertembak saat akan turun ke Timika. Sial! Tanpa perlu menunggu waktu lama, langsung saja Ibu dengan gaya ibu-ibu Jawa yang lembut bilang, "mbok ya ngga usah tho ndok...cari kerja yang aman aja"
Biarpun aku anak paling memberontak, dalam arti yang baik, suka protes kalau ortu terutama ayah bicara / komentar berita tv ngga benar, aku tetap sadar, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu, jadi terpaksa aku nurut dan segera membuat alasan pembenar bahwa pekerjaan ini tidak terlalu layak untuk aku perjuangkan, pertama, kalau aku harus bekerja jauh dari tanah Jawa, gaji yang aku dapatkan harus sekian kali dari gaji yang aku dapatkan di Jakarta yang akses ke dunia hiburannya super lengkap, kedua, aku tidak suka Timika yang panasnya mengalahkan panas matahari Jakarta yang membuar migrenku sering kambuh, dan ketiga, aku ngga mau mati konyol, "Gue belum nikah boooo"
Seperti yang aku bilang tadi, jika sesuatu sudah ditakdirkan hadir dalam hidup kita, dia akan hadir dalam waktu yang tepat dan bentuk yang lebih baik, nah 2 tahun kemudian, ada agen semacam outsourcing/ head hunter beberapa perusahaan besar di Indonesia yang beberapa kali menelpon aku.
Kata bapak ini, "Ibu apa kabar? Saya masih menyimpan CV Ibu yang kami terima tahun 2003”
Aku dalam hati berdecak, “ih hebat nih headhunter, CV 7 tahun yang lalu masih dia simpan, HRD perusahaan kebanyakan bakalan membuang CV lebih dari 5 tahun. “Siang Pak” sapaku.
Bapak Surasep: “Kebetulan klien kami di Papua mempunyai posisi lowong. Apakah berminat?”
Selanjutnya Pak Surasep Siagian orang Batak yang lahir di tanah parahiyangan ini menjelaskan pekerjaan yang ditawarkan kliennya. Aku saat itu sedang bekerja di perusahaan essence milik Amerika Serikat di kawasan Jakarta Timur. Aku tidak ada masalah dengan pekerjaanku, kolega-koleganya terutama bosku, dan direkturnya yang orang Sydney sangat baik. Tapi sudah beberapa hari ini aku stress setiap pulangkerja. Tiba-tiba aku jadi mewek dan lenje melihat kemacetan Jakarta yang makin lama makin tidak tahu malu, apalagi saat musim hujan. “Masa tiap sore gue mau ngedumel dan mencaci maki Bang Kumis? Sementara Bang Kumisnya aja cuek byebeh!” keluhku di dalam Trans Jakarta menuju Sudirman. Ada lelucon lama “Jakarta itu dekat, sudah 2 jam masih di sini-sini aja” dan itulah yang terjadi sore itu, sudah 1 jam, Trans jakarta ini hanya bergerak 15 meter dari halte di Pasar rumput ke halte di dekat dukuh atas.
Dipenuhi hasrat ingin keluar dari kemacetan Jakarta yang makin parah, ingin menyegarkan hidupku, dan keisengan menjelajah alam dataran tinggi Papua, maka aku kirim CV terbaru. Tombol “send” kupencet sambil tersenyum.