Quantcast
Channel: Addisyn Zariah
Viewing all 105 articles
Browse latest View live

Jika sesuatu sudah ditakdirkan hadir dalam hidup kita, dia akan hadir dalam waktu yang tepat

$
0
0


Aku tidak pernah membayangkan jika suatu hari dalam hidupku akan menginjakkan kaki ke daratan Papua, apalagi untuk bekerja ke pulau yang dalam pelajaran IPS sewaktu SD  digambarkan hanya didiami 2 orang per kilometer persegi dan masih hidup dalam rumah berbentuk seperti jamur, sama seperti rumah-rumah yang aku lihat di komik Smurf. Sejauh-jauh aku terbang berkeliling Indonesia, mata sipitku baru beruntung melihat titik nyaris paling utara di Indonesia, Natuna dan paling timur hanya mengintip keindahan alam Lombok.  Walaupun aku hobi backpacking ke mana-mana dan mandiri, bahkan kaki kecilku ini sudah menjelajah hingga ke benua Eropa, Papua tetap terkesan jauh dan asing. 

Tahun ini aku sudah menginjak usia 30 tahun, usia yang untuk kalangan aktris wanita sudah masuk usia tua, apalagi di  Indonesia, biasanya aktris usia 30an sering berperan ibu-ibu dengan anak ABG, tetapi di mata ibuku, aku tetaplah si anak bontot dari 10 bersaudara. Ya, 10 bersaudara, nyaris saja keluargaku membentuk kesebelasan jika Ibu gagal berdisiplin melakukan KB  sistem kalender. Orang-orang bilang aku adalah anak yang sudah tidak diharapkan datang, karena gagal dengan KB sistem kalender, Ibu ingin memakai sistem spiral. Untungnya sebelum Ibu pergi ke Bidan, janinku dengan manis sudah berdiam di rahim Ibu. Kejutan juga untuk Ibu dan ayahku, aku menutup serentetan anak laki-laki yang dimiliki keluarga Kromodikoro dengan ujung yang manis, satu bayi perempuan diantara sembilan laki-laki lincah bagai pinjal, setidaknya begitulah yang diharapkan ayah dan ibuku. 

Setelah  membanding-bandingkan dengan ibu teman-temanku, dapat dipastikan ibuku adalah ibu terbaik dan tersubmisif yang pernah ada di planet bumi ini. "Psst tapi jangan bilang-bilang nyokab gue ya, ntar dia bisa GR dan tiba-tiba berubah seperti nyokab-nyokab yang cerewet. Yah pokoknya doski tuh tipikal ibu Jawa yang polos dan lugu. Ngga pernah dia berani ngelarang-larang atau ngomong ngga, dia terlalu percaya sama anak-anaknya, dan sangat menyayangi anak-anaknya. Untungnya emang gue ini tipikal anak yang ngga neko-neko, datar-datar aja, dan ngga mau manfaatin nyokab yang baik dan polos” aku berusaha memulai cerita dalam buku harianku.

Walaupun agak malu, terpaksa aku harus mengaku, aku, Raisa Kromo adalah tipikal anak kota, yang sedari lahir hingga remaja menghabiskan waktu di kota yang semakin sering kujelajahi banyak kota dunia, semakin lama kurasakan Kota Metropolitan ini semakin kesulitan menanggung segala permasalahan hidup penduduknya. Jakarta semakin sumpek, macet dan kumuh. Kalau ada pemilihan penduduk tersabar di dunia, aku yakin, warga Jakarta dan sekitarnya akan jadi pemenang, warga yang super sabar melihat kemacetan yang berulang dan tidak dibenahi setiap pagi dan sore. Anak Jakarta adalah anak mall, kami besar di Mall, tidak bisa hidup tanpa sekali seminggu memeriahkan Mall/ Plaza di Pusat kota bersama teman-teman atau pacar. Sedari kecil aku sudah terbiasa dengan mall.  Jaman aku kecil memang belum ada mall seperti Senayan City. Saat itu hanya ada Ratu Plaza dan Aldiron di Blok M) walaupun aku juga bukan anak mall beneran, tapi harus kuakui hidup tanpa mall adalah hidup yang hampa, contohnya nih saat harus kuliah dulu di suatu kota di Jawa Barat, saat itu mall cuma ada satu di dekat kampus, aku dan teman-teman Jakartaku sudah
 ngga betah, setiap satu bulan sekali kami dengan riang gembira memenuhi Kereta Parahiayangan. “Apalagi nanti harus kerja di Papua? Mall aja sebiji ngga ada!” aku mendelik membayangkan kehidupanku nanti di sana sambil menatap langit-langit kamar yang baru kucat berwarna biru muda.

Bicara tentang Papua, aku percaya jika sesuatu sudah dua kali datang dalam hidupku, yang ketiga akan menjadi nyata/ milik dalam hidupku walaupun tidak tahu berapa lama sesuatu itu menjadi milikku. Jika sesuatu sudah ditakdirkan hadir dalam hidup kita, dia akan datang masuk ke dalam hidup kita dalam waktu yang tepat dan bentuk yang lebih baik. Sekitar 2 tahun yang lalu aku pernah mendapat tawaran kerja di Papua, di daerah Timika, saat itu aku belum tahu Timika adalah daerah dataran rendah yang sangat panas di Papua. Aku ingat sekali kebetulan TV TwentyOne, TV favorit Ibuku sedang mempertontonkan gambar berita perang suku di Timika. Ssejak ibuku pensiun, selain mengurus suami yang stroke dan kucing-kucing, ibu senang update berita-berita politik. Sinetron? Ibuku sebenarnya ngga terlalu suka, cuma kalau adiknya ngomporin untuk nonton sinetron saja dia jadi ikut-ikutan, yah mirip ababil gitu deh, yang ada tiap malam mesti ngikut mantengin televisi menonton sinetron yang akan diikuti dengan diskusi di telpon membahas tokoh-tokoh di sinetron barusan.

Tapi aslinya acara yang
ibuku suka acara berita di TV TwentyOne dan saat aku menerima tawaran kerja di Papua yang pertama, TV berita yang kadang-kadang mirip infotainment itu beberapa kali menayangkan berita perang suku Amungme dan Kamoro di Papua, dan yang terakhir yang paling melekat di memori otak ibuku penembakan di Amole, lahan tambang emas terbesar di Indonesia, penghasil emas nomor dua terbesar di dunia. Berita itu muncul bersamaan dengan saat aku mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan alat berat dari Swedia untuk penempatan di Timika. Tepat saat mau mulai bicara ke Ibu, tepat berita sore TV TwentyOne menayangkan gambar bis karyawan perusahaan tambang di Papuayang salah satu penumpangnya, guru sekolah asal Australia tewas tertembak saat akan turun ke Timika. Sial! Tanpa perlu menunggu waktu lama, langsung saja Ibu dengan gaya ibu-ibu Jawa yang lembut bilang, "mbok ya ngga usah tho ndok...cari kerja yang aman aja"

Biar
pun aku anak paling memberontak, dalam arti yang baik, suka protes kalau ortu terutama ayah bicara / komentar berita tv ngga benar, aku tetap sadar, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu, jadi terpaksa aku nurut dan segera membuat alasan pembenar bahwa pekerjaan ini tidak terlalu layak untuk aku perjuangkan, pertama, kalau aku harus bekerja jauh dari tanah Jawa, gaji yang aku dapatkan  harus sekian kali dari gaji yang aku dapatkan di Jakarta yang akses ke dunia hiburannya super lengkap, kedua, aku tidak suka Timika yang panasnya mengalahkan panas matahari Jakarta yang membuar migrenku sering kambuh, dan ketiga, aku ngga mau mati konyol, "Gue belum nikah boooo"

Seperti yang aku bilang tadi, jika sesuatu sudah ditakdirkan hadir dalam hidup kita, dia akan hadir dalam waktu yang tepat dan bentuk yang lebih baik, n
ah 2 tahun kemudian, ada agen semacam outsourcing/ head hunter beberapa perusahaan besar di Indonesia yang beberapa kali menelpon aku.

Kata bapak ini, "Ibu  apa kabar?
Saya masih menyimpan CV  Ibu yang kami terima tahun 2003”

Aku
dalam hati berdecak, “ih hebat nih headhunter, CV 7 tahun yang lalu masih dia simpan, HRD perusahaan kebanyakan bakalan membuang CV lebih dari 5 tahun.  “Siang Pak” sapaku.

Bapak
Surasep: “Kebetulan klien kami di Papua mempunyai posisi lowong. Apakah berminat?”

Selanjutnya
Pak Surasep Siagian orang Batak yang lahir di tanah parahiyangan ini menjelaskan pekerjaan yang ditawarkan kliennya. Aku saat itu sedang bekerja di perusahaan essence milik Amerika Serikat di kawasan Jakarta Timur. Aku tidak ada masalah dengan pekerjaanku, kolega-koleganya terutama bosku, dan direkturnya yang orang Sydney sangat baik. Tapi sudah beberapa hari ini aku stress setiap  pulangkerja. Tiba-tiba aku jadi mewek dan lenje melihat kemacetan Jakarta yang makin lama makin tidak tahu malu, apalagi saat musim hujan. Masa tiap sore gue mau ngedumel dan mencaci maki Bang Kumis? Sementara Bang Kumisnya aja cuek byebeh!” keluhku di dalam Trans Jakarta menuju Sudirman. Ada lelucon lama “Jakarta itu dekat, sudah 2 jam masih di sini-sini aja” dan itulah yang terjadi sore itu, sudah 1 jam, Trans jakarta ini hanya bergerak 15 meter dari halte di Pasar rumput ke halte di dekat dukuh atas.

Dipenuhi hasrat ingin keluar dari kemacetan Jakarta yang makin parah, ingin menyegarkan hidupku,  dan
keisengan menjelajah alam dataran tinggi Papua, maka aku kirim CV terbaru. Tombol “send” kupencet sambil tersenyum.


Amole, Negeri di atas awan

$
0
0

Desember yang angkuh dan dingin mulai menunjukkan sifatnya. Setelah tadi pagi dia mengirim kabut putih pekat untuk menutupi gunung-gunung raksasa di sekitar Amole, sepanjang hari ini aku tidak diijinkan memandang barang sedetik pun untuk memandang warna hijau bercampur hitam keemasan gunung besar di hadapanku. Hanya putih yang kulihat dari jendela ini.  Kabut memutihkan Kamis ini, dan lihatlah, sang penguasa bulan makin menunjukkan keangkuhannya tanpa ampun, menjelang siang dia menurunkan hujan lebat untuk menemani kabut. Putih, dingin, jangan harap ada warna lain muncul

Papua, here I come!

$
0
0

Akhirnya di penghujung tahun 2010, aku memulai hidup baru sebagai pekerja di pulau paling timur Indonesia. Jangan kira prosesnya mudah. Aku harus melewati perijinan dari ibuku yang agak alot proses negosiasinya. Padahal dari segi usia aku sudah sangat dewasa, sayangnya aku adalah anak bontot diantara 10 bersaudara yang masih belum menikah. Ditambah lagi saat itu saluran TV berita sedang gencar-gencarnya memberitakan kekerasan atau peristiwa tewasnya beberapa karyawan di daerah tambang tempat aku akan bekerja. Wajar saja ibuku ketar-ketir anak bungsu perempuan satu-satunya yang belum nikah ini mau kabur ke pedalaman Papua. Dalam bayangan Ibuku Papua adalah hutan rimba yang penduduk laki-lakinya masih mengenakan koteka.

Aku masih ingat betapa panjang dan sulitnya proses perijinan dari ibu tercinta untuk bisa meninggalkan kota Jakarta yang sudah menjemukan. Saat itu Ibuku sedang asyik menonton sinetron tentang putri yang tertukar, aku sendiri kurang mengerti si putri dalam sinetron tertukar dengan apa, tapi aku berharap bukan tertukar dengan kucing hehee. Ibu duduk di sofa empuk, sambil mulutnya sibuk menguyah manding (sejenis kacang-kacangan yang mirip kuaci oleh-oleh tetangga dari Ngawi, desa di pinggiran Sungai Solo, Jawa Tengah) dan mengelus-elus Bobi kucing gendut yang  bercita-cita menjadi Garfield sejak dia ikut menemani aku menonton film Garfield yang tersesat di UK. Sejak hari itu Bobi berubah sikap, dia hanya mau tidur di tempat tidur, ikut menonton TV di sofa, sering minta makan dan jadi lebih manja.

Aku mendekati ibu. Bobi yang mudah kaget langsung mendongakkan kepalanya, membuat ibu yang sedang  khusyuk menyimak si Putri yang tertukar menoleh ke aku walau hanya 1 detik dan kembali tertegun melihat adegan Putri yang sedang disiksa. 

Ono opo ndok?” tanya nyokab dengan logat Jawa medok mirip Titik Puspa tanpa mengalihkan mukanya dari layar kaca. 

“Gini Bu, Raisa mau pindah kerja ke Papua nih” 

“Ah ngapain ke Papua? Cari uang kok jauh-jauh amat tho ndooooook! Lha wong yang di Jawa, Sumatra, Kalimantan, semuanya pada datang ke Jakarta untuk kerja, kamu malah ngumpet ke hutan!” Nyokab geleng-geleng kepala. “Iki piye tho, dunia wes kewolak-walek. Mas-masmu yang 9 ekor itu eh 9 orang itu aja kerjanya di kota besar, kamu perempuan kok malah hobi tinggal di alas!” ibu menguyel-uyel rambutku. 

“Tapi bu, kerjanya kan ngga terus-terusan, 2 bulan sekali Raisa bisa balik ke jakarta, bisa nemeain Ibu kemana-mana, jaga rumah. Kalau kerja di Sudirman, Raisa juga jarang ketemu Ibu”
“Ah tapi  Papua iku jauh lho ndok, terus kalau Ibu lihat di berita-berita kesannya ndak aman, Ibu iki wes tuo. Bapakmu sudah ndak sehat. Gimana kalau ada apa-apa, ibu di sini ngga tenang. Apa kamu suka bikin ibu sport jantung terus?” Ibu berusaha beragumen.
“Ibu, Raisa kan tinggal di fasilitas perusahaan dengan petugas keamanan ratusan orang, ada tentara, polisi,  insya Allah aman Bu, lagian ingat kata ustad, dimana pun kita berada kita bisa mati” kataku berusaha bijaksana, maklum, beberapa tahun ini Ibu sedang gemar mengikuti pengajian, jadi aku pikir pendekatan keagamaan ini akan membuat hati ibu luluh.
 
“Ya tapi kan lebih baik kita berusaha mengantisipasi tho ndok. Ingat nasehat Nabi Muhammad ke seorang Badui yang kehilangan unta karena lupa mengikat untanya di mesjid” Aku menggaruk-garuk kepala Bobi, mau minta ijin kerja ke Papua kok sampe repot mengutip hadis Nabi. 

“Tapi bu, gajinya kan lumayan, Raisa bisa bantu Ibu naik haji” mataku berbinar-binar, mirip petugas penjualan asuransi.
Ndok, ndok, kakakmu itu ada 9 orang, Ibu bisa minta tolong mereka!”
“Etapi Bu, bayangkan, di sana ada ribuan karyawan laki-laki, mungkin Raisa bisa ketemu jodoh di sana!” akhirnya kukeluarkan jurus terakhir, jurus yang menurutku jitu mengingat Ibu sangat memimpikan anak bungsu dan satu-satunya perempuan ini bisa menikah secepatnya. 

Iman ibu kelihatan mulai goyah, terlihat mulai tidak fokus menyimak adegan Putri yang tertukar dan beberapa kali menyebut "Astaghfirullah Yaa Gusti, punya anak wedok satu kok ya seperti ini!". Aku senyum-senyum, merasa telah memenangkan argumentasi yang cukup alot dan tidak seimbang ini, bagaimana pun posisiku adalah anak. “Yo wes, Ibu mesti rembukan karomas-mas mu yo?” 

Demikianlah. Setelah pembicaraan panjang lebar dengan ibu, bukan berarti otomatis aku mendapatkan ijin dari beliau. Setelah sinetron selesai, Ibu langsung mengambil buku telepon dan sibuk memencet tombol di telepon menghubungi kakak-kakak untuk mendengarkan pendapat mereka. Terbayang betapa repotnya beliau, harus mengulang cerita yang sama 9 kali, demi mendengar pendapat terbaik untuk memutuskan melepaskan anak perempuan satu-satunya ini ke rimba Papua. Aku sempat mengusulkan ibuku untuk mengirim email ke kakak-kakakku, cukup menulis cerita satu kali, dan mengklik tombol "copy" dan "paste" atau langsung kirim email ke semua kakak-kakakku, tapi beliau menolak, "bahasa lisan itu lebih ekspresif dari bahasa tulisan" katanya.

Ibuku ini termasuk orang yang mudah panik dan kaget, tapi untungnya tidak latah. Mungkin lucu ya mendengar orang Jawa latah? Sudah kebiasaan ibu membutuhkan konsentrasi tingkat dewa saat bertelepon, tidak boleh ada suara lain, termasuk suara dari televisi atau suara pembicaraan orang di dekatnya. Biasanya kakak nomor 4, Septian yang menggoda Ibu saat sedang menelepon.

Ibu kelihatan senang saat selesai menelpon kakak nomor satu dan mulai menghubungi kakak nomor 2. Dengan sabar dia mulai berbasa -basi dan mengulang kembali cerita yang tadi dan diceritakan ke kakak nomor 1.

"Bu, gunting di mana ya? Biasanya ditaruh di lemari perkakas?" tanyaku.

"Oo tadi ibu pakai. Di kamar ibu!"

Aku melirik ibu, konsentrasi belum terpecah. Ibu nampak tersenyum sumringah mendengar cerita kakakku tentang 3 anaknya.

"Benang ditaruh di mana bu?"

Ibu kelihatan mulai gundah, "Opo tho? kamu ini kayak orang baru aja, di lemari perkakas coba cek!"

Aku mulai senyum-senyum dan membiarkan ibu menyelesaikan pembicaraannya dengan kakak nomor 2. Aku lihat ibu mulai sibuk lagi memencet nomor telepon, kali dia ibu menghubungi kakak nomor 4, melewati kakak nomor 3 karena saat ini di Melbourne sudah tengah malam.

Kembali ibu memulai percakapan dengan basa-basi yang dilanjutkan dengan cerita rencanaku pindah kerja ke Papua. Sedang asyik-asyiknya beragumentasi dengan Mas Seno, aku tiba-tiba muncul di ruang tengah, "Ibu, frieskies Bobi ada dimana ya?"

"Di dapur tho, di lemari atas kanan!"

"Ngga ada!" suaraku sok serius mencari-cari di lemari

"Moso? mbok dicari lagi, ini ibu lagi telpon"

Aku mulai menahan tawa.

"Se' se', tadi aku sampai mana Sen? Iku lho adikmu Raisa, gendeng!" kudengar Ibu berbicara dengan Mas Seno. 

Kelihatannya konsentrasi ibuku mulai morat marit dengan sukses dan beliau harus mengulang cerita dan curhatnya itu beberapa kali, "Hus! Ibumu ini lagi nelpon kangmasmu yang di Paris! Mahal iki!" 

Aku cuma bisa cekikikan lari ke dalam kamar sambil mendengar ibu mulai mengulang lagi kronologis alasan aku ingin pindah ke Papua.

Catatan  
1. Ono opo ndok? bahasa Jawa artinya ada apa nak (untuk perempuan)

Terbang ke balik gunung emas

$
0
0


Tibalah hari yang mendebarkan! Hari yang aku tunggu-tunggu selama 2 minggu terakhir. Perjalananku ke Papua! Tidak seperti biasanya aku agak gugup, menyadari ini bukanlah traveling yang hanya temporer. Minimal aku tinggal di sana selama 3 bulan dan baru bisa menjejakkan kakiku lagi ke Jakarta. Seharusnya malam ini aku naik pesawat perusahaan, Airfast, tapi karena ada masalah teknis, terpaksa harus naik Garuda Indonesia. Perjalanan ke Papua ini menurutku perjalanan domestik yang memakan waktu terlama yang pernah aku lakukan. Berangkat pukul 10 malam dari Bandara Cengkareng, pesawat Garuda yang akan aku tumpangi akan menyentuh landasan di Bandara Timika sekitar jam 6 pagi dengan transit di bandara internasional Ngurah Rai, Bali. Uhm, kurang lebih sama dengan perjalanan Jakarta-Sydney. Betapa Indonesia sangat luas dan lebar! Kalau sudah begini, semua hal dari pelajaran Geografi bukan hal yang sulit untuk dimengerti. Benar kan ilmu geografi sangat bermanfaat bagi mereka yang sering traveling ke tempat yang sangat berbeda. 

Untunglah kali ini aku tidak diantar orang sekampung, hanya ayah yang memaksa untuk melepas aku di Bandara walaupun dengan harus memaksa diri jalan dibantu dengan tongkat, ibu dan kakak nomor 3. Bandara Cengkareng belakangan ini seperti pasar tradisional, sangat riuh karena orang yang akan bepergian membawa rombongan untuk melepas mereka, dan aku tidak ingin membuat bandara tambah sumpek dan padat. Sepanjang jalan dari rumah ke bandara ibuku sudah wanti-wanti untuk membaca rapalan doa-doa dan zikir.  Ternyata rapalan doa tadi bermanfaat. Sekitar 2 jam sebelum sampai di Bandara Sentani, Jayapura, pesawat sempat mengalami turbulensi hebat, dengan penuh khusyuk aku membaca stensilan rapalan macam-macam doa dari ibuku.


Syukurlah, akhirnya aku sampai dengan selamat di Bandara Sentani, Jayapura. Bandara terkecil yang pernah aku lihat setelah bandara Langkawi di Malaysia. Yang sangat menarik, sebelum pesawat turun tadi aku sempat melihat surau kecil, ternyata ada juga muslim di daratan Papua. Ciri khas bandara ini adalah  patung Asmat ukuran besar di depannya, dan yang cukup mengagetkan tanda larangan "Dilarang menguyah pinang di sini". "Wow, hari geni, masih banyak orang yang memakan pinang di sini?" aku keheranan dalam hati. Aku pikir hanya eyangku saja di zaman modern ini yang masih mengunyah sirih dengan pinang dan kapur. Beberapa laki-laki Papua duduk lesehan di lantai menjual pinang dan kaos Papua. “Uhm, sekilas mirip bandara Darwin di Australia Utara” bathinku mengingat pemandangan aneh yang aku lihat di Bandara Darwin 4 tahun lalu.  Dua orang ibu-ibu Aborigin duduk di  lantai Bandara di dekat meja check in.

Pesawat Garuda yang kutumpangi hanya transit di sini, sebelum 30 menit kemudian terbang ke tujuan akhir, Timika. Dari jendela pesawat, aku melihat beberapa polisi Papua dan non Papua sibuk tergopoh-gopoh, rupanya ada pejabat yang datang ke Papua, mereka tampak sibuk mengawal sang pejabat dan istrinya. Kurang dari 1 jam kami sampai di Timika yang ternyata sangat panas, seperti berlomba dengan Jakarta. Aku melihat perbedaan cukup mencolok dengan Bandara Sentani, di sini lebih modern, lebih besar dan bersih dan beberapa tentara terlihat di beberapa titik. Sayangnya karena sudah terlalu siang dan jadwal penerbangan chopper (helikopter) sudah ditutup karena cuaca di atas berkabut, dengan terpaksa aku harus menginap sehari di Timika. Kota ini jelas kota yang terbentuk akibat percampuran dengan budaya para pendatang, terutama budaya dari Indonesia Timur/ Sulawesi dan Jawa. Agak sulit untuk melihat ciri khas Papua di kota kecil ini, karena pendatang dari Indonesia Timur, terutama Makasar dan Menado, sangat mewarnai Timika. Aku sempat jalan ke pasar Timika, sempat disorientasi, apakah benar aku ada di Papua atau di Makassar? Karena pedagang di pasar kebanyakan orang Makassar, dan pedagang restoran kecil kebanyakan dari Jawa Tengah. Ingin aku berteriak ke ibuku dan menelponnya “Bu, ada orang Solo di Papua!!” Tentu saja hal itu tidak aku lakukan, "hehe senorak itu kah gue?" senyumku dalam hati sambil menikmati bakso solo.

Keesokan harinya, aku harus bangun sebelum subuh, tidak ingin telat sampai di Bandara Moses Kilangin, karena aku bisa kehilangan kesempatan untuk diangkut dengan chopper ke Amolepura. Di sini, informasi cuaca sangat berarti. Masih terbayang sekitar 2 tahun lalu saat aku ditugaskan pergi ke Matak di kepulauan Natuna, Riau. Aku ingin sekali terbang dengan helikopter kecil (berpenumpang 4 orang) menjelajah ke beberapa pulau di Natuna dan off shore perusahaan tempat aku bekerja saat itu.

Aku makin percaya dengan salah satu falsafah hidupku, "Jika memang sesuatu sudah menjadi takdir, akan ada lagi kesempatan kesekian yang datang dalam hidup kita dengan bentuk yang lebih bagus" yang harus aku lakukan hanyalah tidak berhenti bermimpi jika itu memang yang aku inginkan. Kejutan yang indah dari penguasa alam semesta, kesempatan naik chopper akhirnya terjadi 2 tahun kemudian di perusahaan yang berbeda. Pemandangan di bawah jauh lebih mengagumkan. Otakku yang hobi mengkhayal serta merta melompat ke komik “Tintin”. Aku merasa ada di dalam komik petualangan tersebut, ke wilayah eksotis tambang emas di Afrika Selatan. "Oh Tidak gue masih di Indonesia!!" aku tersenyum-senyum riang mengintip pemandangan dahsyat pegunungan tengah Papua dari jendela helikopter. Sempat norak untuk pertama kali, mesti menulis status di Facebook dan nyaris lupa membaca doa perjalanan. Untunglah, walau tadi chopper nyaris mendarat di atap hanggar, karena kabut pekat, akhirnya, yah akhirnya, helikopter berpenumpang 22 orang ini berhasil mendarat di landasan yang seharusnya dan aku berhasil menjejakkan kaki di tanah Amolepura. Amolepura sendiri diambil dari kata Amole yang dalam bahasa suku Amungme berarti salam damai/ terimakasih. Tempat ini seperti surga, gunung-gunung batu besar berwarna hitam gelap bermuatan emas dan tembaga yang tiada henti mengucurkan air-air terjun ke sungai-sungai di sekitarnya. Pemandangan di sini bagai dilukis maestro seni yang dipamerkan museum-museum seni di Paris dan Amsterdam. Ah, Tuhan pasti menciptakan Amole dengan penuh senyum, setiap detilnya begitu indah dan sempurna. 

“Subhanallah” desisku dengan mulut menganga. Mendadak siapapun akan menjadi religius melihat alam Papua yang tersaji di sini, merasakan kebesaran Tuhan. “Ini masih Indonesia kan?” Aku berusaha menahan angin dingin yang cukup menusuk, cukup kaget aku akan  kedinginan di daerah khatulistiwa. “Selamat pagi Bu Raisa, selamat datang di Amolepura, dengan ketinggian 2600 m – 4250 meter di atas permukaan laut” kata penjemputku, Pak Tony berusaha menerangkan dengan jelas kawasan tambang ini. Ah aku yang terkagum-kagum dengan alam Amolepura ingin sekali berteriak girang, “wow, amazing!” Tempat tertinggi di wilayah Indonesia yang pernah aku kunjungi mungkin hanya Bromo, dan saat ini aku berdiri di datarann tinggi Papua dengan ketinggian mengalahkan semua gunung-gunung di Pulau Jawa!! Mendadak gunung-gunung di Pulau Jawa kelihatan begitu kecilnya dibandingkan gunung-gunung di sini, aku semakin mendekati langit.









Surga di balik gunung-gunung batu

$
0
0

Masih  termangu-mangu melihat alam Amole dan sekitarnya, aku mulai merasakan berada di surga ciptaan Tuhan di belahan timur Indonesia. Tuhan pasti tersenyum puas dan bangga saat selesai menciptakan alam Amole. Bagai lukisan impresionisme masterpiece pelukis dunia yang tiada cacat. Lukisan masterpiece para pelukis terkenal dunia yang kulihat di Musee Du Louvre dan musium seni di Paris menjadi kelihatan tidak berarti di mataku. Jangan salahkan aku jika mengkhayalkan cerita petualangan hebat, alam di sini mirip dengan cerita-cerita petualangan di Buku Sydney Sheldon tentang tambang berlian di Afrika Selatan yang letaknya tersembunyi dan harus dicapai dengan helikopter. Penerbangan dengan helikopter hanya memakan waktu 15 menit dari Bandara Timika tetapi memakan waktu 4-5 jam dengan bis karyawan karena iring-iringan tentara dan polisi yang berlapis-lapis.

Walau hanya seperempat jam, tapi pemandangan yang disajikan sangat spektakular! Baling-baling di atas helikopter bermuatan 20 penumpang dan 2 pilot ini bergerak cepat dan perlahan meninggalkan helipad Timika, aku dengan bongahnya tidak melepaskan pandangan dari kaca jendela di samping kiriku. Pertama yang kulihat kelokan-kelokan sungai kecil dan pohon-pohon kecil bulat di dataran rendah Timika, lima menit kemudian mulai terlihat barisan gunung-gunung semakin lama semakin besar, semakin lama kurasakan ketinggian helikopter yang terbang di atas gunung-gunung batu yang ditutup kabut pekat putih. Pilot helikopter ini seorang kulit putih usia paruh baya, aku menduga pasti dia sangat piawai menerbangkan helikopter di daerah pegunungan yang sering berkabut ini. 


helipad, before the long term strike and gun shot on the chopper

Aku perhatikan banyak kupu-kupu berwarna warni indah di sekitar lantai hanggar, mirip dengan kupu-kupu yang kulihat di Kebun Binatang Melbourne, sayangnya beberapa kupu-kupu itu tergeletak di lantai hanggar, sementara di Melbourne, mereka sangat merawat spesis kupu-kupu yang ada. Laki-laki Papua yang ada di depanku tersenyum melihat tingkahku yang seperti anak kecil memperhatikan kupu-kupu berwarna hitam dan merah keperakan di lantai. “Ah mace, trada kupu-kupukah di daerah mace?” Aku mendongakkan kepala sambil otakku berusaha menerka maksud pertanyaan laki-laki berselempang tas warna-warni mencolok yang mereka sebut "noken". “Oh ada kupu-kupu di Jakarta, tapi tidak sebanyak di sini Pak, dan motif serta  warnanya tidak seindah di sini” Aku tersenyum. “Mace, ko pasti senang tinggal di sini!” bapak-bapak Papua di depanku tampak tersenyum memamerkan giginya sambil mengulum pinang dan kapur sirih.

Pak Tony sudah selesai mengambil 2 tas koperku, yang sebagian berisi perawatan wajah dan tubuh, aku khawatir di sini susah untuk membeli barang-barang itu, sebagian lagi jaket dan baju penghangat dan tentunya baju-baju yang akan aku pakai di sini. “Mari Bu Raisa, kita ke mobil”. Pak Tony membantuku membawakan koper yang besar. Aku menyeret koper coklat kecilku setelah berpamitan dengan laki-laki Papua tadi. Di tempat parkir shuttel bus warna biru laut sudah menanti, spontan aku menuju ke bis tersebut  jika saja Pak Tony tidak memanggilku. “Oh Bu Raisa, saya bawa mobil kantor, mari sini Bu!” Aku melihat banyak mobil Ford putih bercap logo perusahaan parkir di jalan menanjak dan berkerikil di samping kanan hanggar. “Wow” decak kagumku. 

company bus from west valley to shopping family *photo taken from Sion Church
Hari pertama tiba di Amole, aku tidak langsung bekerja, hari ini harus membuat kartu identitas, kartu sakti di sini, karena dengan kartu itu aku bisa mendapatkan akses ke kantor, perpustakaan, gym, tempat belanja, messhall (kantin) dan lain-lain. Selesai membuat kartu identitas, Pak Tony mengantarkan aku ke Barak. Barakku berisi dua kamar, dan aku sekamar dengan seorang gadis Papua. Di atas barak ini aku lihat gereja kecil di atas bukit dengan latar belakang gunung-gunung batu raksasa dan sebagian atap-atap runcingnya tertutup kabut. Ah, tiba-tiba aku yang penakut dengan film horor memalingkan muka. Ini masih jam 12 siang, tetapi kabut telah memenuhi Amole.

Catatan : Mace adalah panggilan untuk perempuan (dewasa) di Papua (terutama suku Amungme). Trada = tidak ada. Ko = kau.

Do You Know Papua?

$
0
0

Sago palm is 'tree of life' for Asmat tribe. Many tribal wars were fought in the past over sago rights. Without it, they have no food ('papeda'), shelter (Roof), or clothing. Even they use it for trading or purchasing a bride. Momena tribes meals are made from sago wrapped in banana leaf, cooked in the smouldering coals of the family fire, and put wild fungi, small insects or lizard in the sago 

'Hunila' is a hut for women cooking the foot and where all the women live in Some people still believe to protect their self from 'marauding' (evil) spirit, they put a piece of lime under their pillow or put it in pocket. 

A downward-pointing boar's tusk, worn by a Dani's warrior (put on his nose) signals he is on the warpath. An upturned tusk put one at ease, as symbol of peace.  Papuan women, just like Balinese, toils from dawn to dusk, gathering firewood & edible greens, collecting salt, rearing pigs and children, and tending the sweet potato gardens. 

Their basic diet is the sweet potato, cucumber, vine leaves, peanuts & ginger root. They eat meat only at the marriage ceremony, coz at that special occasion they are allowed to partake meat (pork). 

'Noken' is a carrying net (kind of bag) with fibres from Aquilaria bush, usually put at their had (not at their shoulder) Papuan women wear sway like rhumba dancers called 'Thali" (grass skirt) and change it when married for a cage-confining skirt of white, red and yellow orchid fibre which is braided by the males of the family and wound tightly around her hips by the village women. 

Cut finger not happen on yakuza, in Papua, if one of their beloved person died (parents or husband), the sons/ daughter/ wife will cut all their hands' fingers as the expression of losing/ sadPolygamy already known thousands years ago in Papuan as neolithic tribe who still exist in this earth (but I wonder why western people always relate that word to muslim lol). A wife is forbidden to have sex when she pregnant until her baby age 3 years, in that absence, her husband has right to have another wife. 

Source : "Irian jaya", jullie campbel. 

So do you know about Papua now? 

First day at work at papua's remote area

$
0
0
Tinggal sekamar di "dormitory"/ barak hostel bukan hal yang baru bagiku. Tinggal sekamar berenam pun pernah aku lakukan saat jalan-jalan di Eropa dan Australia. Tinggal berbagi kamar sebenarnya bukan masalah saat aku melakukan backpacking ke negara-negara mahal, karena hanya sementara, paling lama hanya 21 hari dan itu pun teman sekamar berganti-ganti, tapi saat ini aku harus berbagi kamar untuk jangka waktu lama, bisa 1 tahun, mungkin lebih dengan orang yang sama. 

Teman sekamarku gadis Papua tinggi besar dan montok berwajah manis. Tadi siang kami berbasa-basi kenalan. Namanya Sri, ya benar Sri. Aku sempat kaget saat dia menyebut namanya dan berprasangka buruk pendengaranku bermasalah di dataran tinggi dengan ketinggian lenih dari 2800m ini. "Maaf, nama kamu Sri?" "Iya Mbak" aku tersenyum demi mendengar dia memanggilku mbak, karena di tanah Papua yang aku tahu mereka biasa memanggil kakak untuk laki -laki atau perempuan yang lebih tua. "Maaf Sri, kok tidak pakai nama Papua" "Sri Magai, mbak. Papaku asli Nabire, Ibuku asli Yogya. Sambil berkenalan, aku mengamati wajah gadis Papua di depanku. 


Setelah magrib, di tengah Amole yang dingin berkabut dan rintik-rintik hujan, Sri menemaniku menunggu bis kantor yang akan membawa kami ke Shopping Hall. Pukul 4 sore messhall sudah dibuka untuk jadwal makan malam dan kebanyakan para pekerja bujang / berstatus bujang di sini makan malam sebelum jam 7 malam. Bukan karena diet, tetapi karena mereka yang shift pagi harus bersiap kerja saat subuh.


Menu makan dibagi menjadi 2, makanan Nasional (Indonesia) dan western food. Bukan karena aku sok kebule-bulean, karena menu indonesianya kurang menarik dan kurang meyakinkan rasa dan penampilannya (seandainya saja ada Resto menado atau warung padang Sederhana di sini), aku memilih menu Western, beberapa irisan besar daging sapi Australia, saus barbeque, kentang bakar dan sup. "Mbak Raisa, kalau mau dapat es krim, harus datang ke messhall sebelum jam 7!" jelas Sri. Aku tersenyum riang,"ah ini hiburan di daerah pelosok!" 


Karena ini hari pertamaku kerja, aku tidak ingin datang terlambat. Sri menjelaskan jadwal bis kerja ke lokasi kerja di MP 74 (mille point) untuk karyawan level Staff  jam 5.00, jam 5.30, dan jam 5.45. Kalau mau datang tepat waktu, aku harus menunggu di halte khusus untuk karyawan staff di seberang barak sebelum jam 5.45. Jika bis staff tidak ada, Sri memberi alternatif untuk menunggu bis karyawan non staff, tetapi aku harus berjalan sekitar 150 meter dan Sri tidak menyarankan, terutama untuk karyawati baru seperti aku. 


"Ih ngeri sekali Mbak, mulutnya masih belum disekolahkan, sering teriak-teriak kalau lihat karyawan perempuan, belum lagi ada yang tetap merokok dan makan pinang di dalam bis!"

Wow, aku bergidik membayangkan ada di dalam bis dengan laki-laki perkasa yang terkurung di dalam Site sekian bulan hidup terpisah dari pacar / istrinya. 

Semalaman aku was-was bagaimana jika aku bangun telat, beberapa kali aku pastikan jam wakerku sudah kuatur di jam 4.30 dan suaranya berfungsi. Ah kalau begini aku kangen Ibuku yang tidak pernah bosan menjadi Tim Pembangun bagi ke9 anak-anaknya dulu saat kami masih di sekolah. 


Halte bis yang kecil ternyata sudah dipenuhi para pekerja dengan jaket/ overall aneka warna, sesuai divisi mereka, sedangkan aku hanya mengenakan kemeja, celana jeans, jaket dan sepatu safety boot coklat setinggi betis. 


Bis orange besar yang bentuknya seperti roti tawar di tahun delapan puluhan mengingatkanku saat masa kecil di Jakarta. Bis ini datang di depan halte, pintunya segera terbuka dan kami langsung berbaris di depan pintu. Perjalanan menuju kantorku kata Sri memakan waktu sekitar 20 menit. Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, hanya 4 mil (sekitar 10 km) tapi karena jalannya menanjak, berkelok dan kecepatan maksimal yang diperbolehkan hanya 15 km/ jam, maka membutuhkan waktu sekitar 20 - 30 menit tergantung banyaknya kendaraan yang lewat dan apakah semalam longsor. 


Aku sengaja memilih duduk di dekat jendela, ingin menikmati perjalanan perdanaku ke kantor. Beberapa karyawan nampak meneruskan tidur begitu sampai di tempat duduk bis. Aku si karyawan baru tersenyum-senyum girang sambil menikmati musik-musik The Cranberries di telingaku. Sudah berpuluh tahun tidak menikmati udara sejuk berkabut, burung berkicau dan jalanan tanpa macet. "Ini berkah!" pujiku dalam hati. 


Bis orange berjalan pelan di jalan sempit yang mulai menanjak dengan pemandangan gunung-gunung hijau yang ditumbuhi tanaman berdaun sempit dan tundra. Beberapa pohon tampak gimbal, tidak berdaun, tetapi seperti diselimuti lumut. Sepanjang mata memandang hanyalah gunung-gunung raksasa yang dicelah-celahnya mengalir air terjun kecil dan langit biru bersih yang  tertutup kabut. Tiba-tiba aku menjadi religius, "Subhanallah, maka nikmat Allah manakah yang kamu dustakan". Ibu harusnya bersyukur membolehkan aku bekerja di sini, karena tanpa paksaan beliau, aku menjadi ingat ayat-ayat Al Quran.


Bis sempat berhenti sebentar sebelum memasuki terowongan sepanjang 900 meter yang membelah gunung besar ditandai dengan sinyal handphone yang tiba-tiba hilang. Aku tidak merasakan perjalanan 20 menit tadi sebagai perjalanan ke kantor, tadi itu mirip seperti acara karyawisata saat aku SD ke Cipanas hehe. Aku melihat beberapa orang berhenti di stasiun Bis Ridge Camp, dan aku mengikuti mereka. Saat keluar dari pintu bis, barulah aku sadar, perjalanan ini bukan perjalanan karyawisata, ini hari pertama aku kerja. Di luar beberapa karyawan laki-laki bergerombol dengan jaket/ overall beraneka warna sesuai divisi mererka. Gerombolan laki-laki berwajah keras itu berteriak-teriak dan tertawa saat 3 karyawati keluar dari bis ini, termasuk aku. "Hai, Adek nonaaaaaa!"diramaikan dengan suara siualan tidak berhenti-henti.



Biasanya sih ya, hari pertama orang dikasih tahu struktur organisasi, work procedure, job description , dan dikenalin ke semua orang yang ada di kantor. Nah sepertinya aku dapat bonus unik dari bu bos, setelah selesai beliau memperkenalkan aku ke semua rekan kerja termasuk cowok expat botak yang kira-kira penampilan fisiknya mirip Sheldon Cooper di "The big bang Theory" (pokoknya bukan tipe akulah) si bu bos bilang,"Eh kalau yang tadi itu pacar saya ya, jangan suka sama dia lho" katanya kenes sambil mengibaskan rambut lurus sebahunya.

Rasanya pengen nepok jidat saat itu juga, tapi sayangnya ini bukan film Korea yang lucu. Aku ngga tau mesti komentar apa, cuma bisa senyum-senyum. Baru kali ini kejadian seorang bos di hari pertama kasih wanti-wanti begini. "Penting banget yak?", komentarku dalam hati (dalam hati pastinya, gila aja hari pertama aku ngga masang kesan manis ke atasan).

Nah karena aku pikir dia benaran pacaran sama si cowok aneh itu, dan swear God, aku sama sekali ngga tertarik untuk mengenal lebih lanjut, sekali pun temenan aku yakin sekali demi diciumin kucing anggora manis.

Dalam hati aku jawab, "Aman bu, disamber nyamuk seribu juga gue ga bakalan tuh jatuh cinta sama cowok aneh gitu!"

Bukannya apa-apa pemirsa, masa pas kenalan aja nih, semua orang, sekalipun expat big boss dan bahkan Project Manager ramah menyambut aku sebagai karyawan baru -yah basa-basi dikit lah- ini si cowok aneh diam aja. Uhm, liat aja, aku ngga bakalan beramah tamah dan bermanis muka sama cowok itu.

"Catat ya, kalau sampe gue kesengsem sama dia, potong deg ekor kucing gue si Bobby" janjiku dalam hati.

Aku, cafe lau-lau dan Sheldon Copper dari Amolepura

$
0
0


Setelah chopper mendarat di helipad, tanpa sadar  bibirku melafalkan puji-pujian kepada penguasa alam semesta. Helipad di bandara Moses Kilangin adalah lapangan luas yang dihiasi rumput liar hijau muda segar setinggi 40 cm di pinggirannya. Rumput-rumput itu menari-nari riang saat helikopter biru muda mendekati lapangan, tak bisa menahan diri karena gerakan baling-baling helikopter. Bandara di Timika ini dinamai sesuai nama seorang tokoh guru dari Suku Amungme yang dihormati, Mozes Kilangin. Tentara tampak bersliweran di Bandara  selama mogok kerja yang kedua ini, mogok terlama yang pernah terjadi di Amolepura, sudah berjalan lebih dari 3 bulan dan entah kapan akan berakhir dengan kesepakatan antara dua kubu, Serikat Pekerja dan manajemen.  



Mungkin hanya di sini tentara bersenjata laras panjang bertebaran di Bandara. Sekarang aku tahu perasaan temanku Husni, mahasiswa Teknik Tambang ITB asal Aceh yang aku kenal saat aku ikut pengajian di Mesjid Salman ITB. Saat itu aku ingin membuat skripsi tentang studi kasus mengenai hak referendum dalam penyelesaian konflik di Aceh dan Timor Timur. Husni sering menceritakan masa kecilnya di Pidie saat Aceh masih menjadi DOM (Daerah Operasi Militer). Trauma masa kecil melihat tentara berpakaian loreng-loreng hijau bersliweran di desa mencari orang yang dituduh anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) masih menghinggapinya hingga ia dewasa. Tentara sering mengumpulkan warga desa di tempat yang lapang untuk menciduk orang yang diduga terlibat GAM. Masalahnya, tidak seperti orang Jawa yang menamakan anaknya dengan nama yang panjang, di Aceh orang hanya memberi nama dengan satu kata yang biasanya nama Islam, seperti Ahmad, Muhammad, Husin, Hasan, Abdullah, Husni, Salim dan lain-lain. Sehingga sulit bagi tentara jika harus mencari orang bernama Ahmad, karena bisa jadi di satu desa ada belasan laki-laki dewasa bernama Ahmad. Ayah Husni pernah dibawa oleh tentara-tentara dari Pulau Jawa itu, dan setelah itu Husni dan adiknya tidak pernah tahu berita tentang ayahnya. Pelan -pelan Husni dan teman-temannya mulai membiasakan kehadiran para tentara di desa mereka termasuk suara tembakan pistol saat mereka sedang belajar di sekolah.

helipad after the chopper's accident
            Setelah melewati pemeriksaan 3 tahap dan berusaha tersenyum pada tentara yang ikut menjaga di 3 titik tadi, aku menarik nafas lega dan duduk di ruang tunggu. Cuaca di Amolepura terutama di sekitar helipad beberapa hari ini memang kurang bagus, kabut seakan ingin menguasai langit Amolepura mendramatisasi keadaan yang sangat mencekam selama pemogokan karyawan non staff. Karena takut bis cuti akan diteror karyawan yang mogok di sekitar gorong-gorong di Timika (MP/Mille Point 28), bis cuti untuk karyawan non staff tersebut tidak beroperasi hingga ada perkembangan yang lebih kondusif. Aku sudah khawatir tidak dapat terbang dengan chopper hari ini karena karyawan non staff yang cuti diberi dispensasi boleh naik chopper untuk turun dari Amolepura ke Timika, padahal aku memesan penerbangan ke Jakarta di hari yang sama. Sepanjang perjalanan 15 menit di helikopter tadi, hatiku komat kamit zikir berharap semuanya sesuai dengan rencanaku. Temanku Jojo sebenarnya sudah mengingatkan, "Mace, ko harusnya pesan tiket untuk hari berikutnya. Taratahu ka keadaan di bawah sedang kacau? Apalagi ko naik Garuda, terbang lebih awal dari Airfast!" 

Sekarang aku bisa tersenyum, masih ada sisa waktu 2 jam. Orang-orang nampak lega bisa meninggalkan Amolepura, begitu juga aku tentunya. Sudah 3 bulan kami didera suasana mencekam. 3 bulan kami seperti makan gaji buta, tidak bekerja, karena koordinator lapangan Serikat Pekerja menahan kami untuk bekerja. Hanya beberapa orang di bagian Administrasi yang tetap datang ke kantor untuk mendata karyawan karena banyak yang terpaksa ikut mogok karena diteror.  Ada yang baru kembali dari cuti dan tidak bisa naik kerja ke Amolepura, karena bis cuti karyawan tidak bisa beroperasi. 


Keadaan di dalam Amolepura semakin hari semakin panas, perusahaan menambah pasukan polisi dan tentara yang menjaga kompleks penambangan ini. Rumor beredar bahkan ada beberapa anggota CIA didatangkan ke Amolepura. Beberapa mobil Ford warna oranye terang berisi bule, tentara dan polisi sering berpatroli ke Hidden Valley dan MP 68 (Mille point 68). Kadang –kadang mereka seperti over acting memamerkan kejantanannya, datang makan di messhall dan menaruh senjata laras panjang mereka di atas meja makan. Kami makin biasa mendengar suara tembakan, gosip yang beredar kepala suku di Banti dan desa-desa sekitar kompleks penambangan ini akan ikut demo dan naik ke Amolepura. Pernah suatu siang saat sedang mendata karyawan, tiba-tiba terdengar tembakan di MP 73 sebanyak 7 kali. Kami semua segera berhamburan ke depan kantor membawa tas, siap untuk melarikan diri ke barak. 

“Ada apa Linus?” bosku dengan tegang bertanya ke Linus, bagian Industrial relation di kantor kami. 

            “Sebentar Pace, saya cek dulu dengan bagian keamanan” 
Kami sibuk menghibur diri dengan cerita-cerita lucu, walau tawa yang keluar terdengar sedikit getir.  

Beberapa menit kemudian Linus mendekati kami.     

“Ah, itu hanya tembakan peringatan dari tentara karena ada meno yang mau naik ke atas di MP 73 dari Kali Kabur! Informasi dari Bagian Keamanan sekarang su aman untuk kerja. Ayo teman, tong jangan lau-lau, macam makan gaji buta mo!” Linus tertawa-tawa geli.

Buat dia orang Amungme yang sudah bekerja di sini lebih dari 10 tahun, mungkin sudah terbiasa dengan keaadaan seperti ini, mogok kerja, demo dengan lempar batu dan membawa panah, penembakan bis yang membawa jatuh korban, tapi buat aku yang baru bekerja 1 tahun, rasanya aneh di negara yang mempunyai pemerintahan, tetapi penembakan dianggap hal biasa. 

Aku bergidik, ingin melupakan kejadian selama 3 bulan terakhir. “Uhm yang penting sekarang gue udah cuti, mau liburan ke Adelaide!” aku senyum –senyum sendiri sambil mendengar lagu-lagu ceria. Saat lagu “Close to you” dari Cranberries mengalun, pikiranku melayang-layang ke pertemuan pertama aku dengan Finn, si laki-laki anti sosial di kantor, sang Seldon Copper dari Amolepura. bagaimana aku yang tadinya benci dengan si cowok aneh ini semakin hari penilaian aku tentang dia berubah. Ini semua diawali dengan kejadian di Jumat pekan ke 3 saaat dia akhirnya berani menyapaku dengan malu-malu.

Hari Minggu, 2 hari setelah sapaan di hari Jumat itu, kebetulan saat ke Shopping Hall, satu-satunya hiburan setelah Cafe Lups dan Cafe Honai, aku melihat dia di Cafe Lau lau.  Lau-lau diambil dari nama binatang sejenis kanguru pohon yang hidup di beberapa daerah di Papua yang mirip kanguru tetapi sehari-hari pekerjaannya tidur di pohon. Lau Lau juga biasa kita sebut untuk para pekerja yang hanya bermalas-malas tanpa kerjaan. Cafe ini terletak di tengah-tengah Shopping Hall dan terbuka, tapi jangan membayangkan cafe-cafe seperti di Jakarta yang keren-keren. Cafe lau lau sekedar ada untuk tempat untuk makan yang sedikit lebih nyaman dan enak sebagai alternatif kalau kita bosan dengan menu Messhall. Kebetulan pagi itu aku ingin makan siang dan semua meja lain penuh.

Aku celingukan sibuk mencari meja kosong, dan mataku tertumbuk dengan dia, yang duduk sendiri. Finn tersenyum, dan karena kemarin kami sudah berkenalan, aku datang mendekat ke mejanya, “Hi, this seat is free?"

Itulah asal muasal kenapa akhirnya penilaian aku tentang dia yang semula aku pikir seperti robot, kaku, anti sosial, sedikit berubah. Aku seperti bertemu sahabat lama saat berbicara dengannya mungkin karena kami sama-sama suka berpetualang ke negara-negara lain. Aku merasa nyaman, apalagi dia iseng menggoda aku, “uhm, Paris, itu nama apa ya?” tanyanya sambil senyum-senyum saat aku bercerita tentang backpackingku ke Eropa dan bagaimana aku jatuh cinta pada kota romantis itu.

"I do like junk food, chocolate, chips, burger, coke, all junk food", jawabnya saat kutanya makanan favorit dia. Aku dengan gaya bak Ade Rai yang punya badan sehat dengan diet sehatnya itu dan rajin olahraga bilang, "Uhm that's not good for your body and metabolism. I always eat healthy food, especially fresh vegy and fruits and exercise at gym" Aku tersenyum, hatiku rasanya ingin berkata ‘Pret! pencitraan!” padahal selama ini aku jarang olahraga. Dean melihat piringku yang penuh dengan lalapan sayur mayur segar, seolah-olah mencoba menegaskan ucapanku benar. .

Setelah makan siang dan percakapan tentang traveling ke Eropa tadi, aku dan dia pisah di Hero untuk belanja keperluan sehari-hari.Aku mengendap-endap ke bagian coklat, memastikan Dean sudah tidak ada di Hero. “Aha, sekarang gue bebas borong coklat!” kataku tertawa licik. Sedang asyik jongkok di depan barisan coklat impor dari Australia, aku mendengar suara orang mendekat, "Hahahaha, you like junkfood too, like me. Coba saya lihat keranjangnya. Wow, what a healthy food! Chips, chocolate, nuts, coke" dia menggeleng-gelengkan kepalanya pura-pura takjub.

Aku merasa maling tertangkap tangan dan hanya bisa senyum-senyum, “Well Finn, chocolate also health especially dark chocolate to make us happy” kataku mencoba membela diri sambil menutupi coklat putih dengan jeruk mandarin. Finn melangkah menjauhiku sambil tertawa. Sepertinya puas sudah menangkap basah aku saat tengah semangat jongkok memilih coklat.

Aku pikir orang di divisiku tidak ada yang tahu siang ini aku makan siang dengan cowok aneh itu, karena selama  aku dan Finn makan, kuperhatikan tidak ada rekan-rekan kerjaku yang lewat di Cafe Lau Lau. 
“Alhamdulilah” syukurku dalam hati, ingat peringatan Ibu bos di hari pertama aku bekerja. Tetapi saat aku keluar dari Hero aku berpapasan dengan teman-teman satu divisi, Lindy dan teman-teman puas menggoda, "Cieabis ketemuan sama Finn ya?" Aku mencoba menyangkal dengan mimik muka serius, "Yeah, ngapain juga gue ketemu sama dia, kalo pun ketemu wajar kali, tempat belanja Cuma satu, kecil" Lindi kembali menggoda, "Barusan kita papasan Mbak, dia tanya, liat Mbak ngga? Tadi setelah makan siang saya pisahan" 

Aku hanya bisa menutup mulut rapat-rapat berharap tidak ada gosip beredar.




Laki-laki aneh & kue kastangel

$
0
0


"Sumpah deh, selama gue kerja dari tahun 2000 sampe sekarang, baru nemu karakter yang aneh seperti cowok ini. Tokoh yang tepat dan mungkin hanya ada di novel atau film" 

"Seriously" ketik Nina di layar BBM. 

"Nin, lu tahu film sitcom "The Big Bang Theory" ngga? Nah gue baru inget sekarang, penampilan fisik sama gesture cowok ini mirip tokoh sentral di sitcom itu, Sheldon Cooper. Tau? Yup! seunik dan seaneh itu! Sampe gue mikir, tapi itu kan pelem, tokoh rekaan, kok bisa ya di dunia nyata gue nemu laki-laki seaneh dia?"
Nina menulis icon tertawa.
"Pertama kali lihat sih ngga menarik perhatian gue, lagian dia juga cuek abis, so who the hell he is, ngga ada penting2nya gue mesti bermanis2 ria dan beramah tamah. Hari pertama dan selanjutnya, di saat rekan-rekan kerja termasuk bos-bos expat berbasa-basi menyapa ramah, ngobrol singkat, si cowok ini melenggang cuek di depan cubicle gue (waktu itu gue belum ada ruangan). Gue? ga penting juga toh gue harus senyum ke dia"
“Terus?”
“Jalan cuek tanpa bilang 'hi' sih oke oke aja ya. Kejadian yang bikin gue jengkel nih, gue naro 1 toples isi kastangel enak dan gurih (kakak gue yg nmr 3 tuh cita rasanya sangat tinggi soal makanan, dia tahu aja makanan yang enak di Jakarta dan Indonesia, walaupun kalau dia masak asli rasanya aneh ehehehe, kasian suaminya. Nah kakak gue yang baek ini bekalin gue makanan, antara lain kastangel). di atas cublicle gue. Si cowok aneh ini tiap lewat cubicle tangannya (gue ga merhatiin kanan atau kiri, lha kan gue pasang aksi cuek ke dia mana sempat merhatiin) berhenti di toples dan nyomot kastangel gue (ngga gue perhatiin juga berapa kastangel yang berhasil dia comot sekali jalan.
Kejadian comot kastangel tiap dia lewat tanpa ijin gue ini terjadi berulang-ulang selama beberapa hari, tapi yang ga sopannya, ngga ada basa-basi pisan, senyum kek, ngomong hai kek. Ugh biar kata dia bos tetap aja gue ngga rela kastangel gue diambil dia”
Nina mengetik icon tertawa terguling-guling.

“Tiba-tiba gue seperti lihat lampu di kepala gue, timbul ide brilian dan iseng abis di otak gue.

Gue pengen kasih pelajaran, nanti pas dia lewat dan dia mau ambil kastangel gue, gue akan berdiri untuk ambil toples gue.
Nah tibalah momen yang dinanti-nanti. Gue lihat dia mendekat ke cubicle gue, langsung dengan sigap, gue diri dan gue ambil itu toples. Tebak apa yang dia lakuin? Dia lanjut jalan ke ujung lorong dengan muka tanpa ekspresi.  Senyum atau nyapa gue? No way....Dia melenggang jalan lurus senyum senyum sendiri meninggalkan gue yang BT abis..."arrrrrrrg!!!!" maksud hati mau bikin dia kesal, kok malah gue yang marah-marah sendiri??”
“Hahaha kocak banget sih Raisa! Aneh tuh cowok, mirip Sheldon! Ada ya  cowok seperti dia!”

“Dengar ya Nin, demi roh kucing gue Bapung yang meninggal 15 tahun lalu, catat pemirsa gue ngga akan nyapa dia duluan, dan kalau gue sampe nyapa duluan, potong deh kumis kucing gue Bobby yang sok cakep itu!!!!

Do I start to fall in love or this is just crush ?

$
0
0

Aku tidak bisa tidur. Galau to the max, dan kalau sudah galau begini, jari jemariku yang lentik akan lincah menari di atas key board lap top. Setelah 5 menit menari-nari dalam irama Salsa, inilah tulisan yang aku muat dalam blogku : 


"Kali ini lagi-lagi saya jatuh cinta. Proses jatuh cinta kali ini modusnya jauh berbeda dengan modus yang seringkali terjadi pada kehidupan cinta saya. Prosesnya sama sekali bukan seperti yang selama ini saya impikan. Romantis? Jauh sekali dari kesan itu. Cinta pada pandangan pertama? Bukan juga. Justru saya benci pada pandangan pertama. Maaf, benci sepertinya bukan kata yang tepat. Benci adalah perasaan, salah satu bentuk dari perhatian tapi dengan energi yang negatif. Saya tidak punya perasaan pada dia di hari pertama saya melihat dia di kantor. Saya tidak suka pada dia karena suatu peristiwa, saat kami harus evakuasi karena ada "blasting" di dekat tempat kami bekerja dan dia tidak berusaha mengkomunikasikan itu ke saya. Wajar saja sejak detik itu saya memutuskan dia tidak pantas saya perhatikan, dia harus saya abaikan, bahkan jika dia berjarak 50 cm dari saya pun, saya tidak peduli, saya tidak peduli dia menghirup oxygen yang sama dengan saya. Dalam dunia saya, dia tidak ada. 

Pengabaian saya pada lelaki ini, seharusnya bisa berjalan dengan mulus sampai waktu yang tidak terbatas, hingga bayangan dia tidak perlu mengganggu saya seperti saat ini, saya tidak bisa tidur –setelah selesai berkaraoke dengan teman-teman wanita sesama  penulis di Bentang Pustaka— walaupun sudah berkali-kali lagu “Hanya Cinta Yang Bisa” ( Titi DJ dan Agnes Monica) “Sang Dewi” (Titi DJ), “Bahasa Kalbu” (Titi DJ) dan “Malaikat Juga Tahu”  (Dewi Lestari) saya dengarkan dan membuat saya termehek-mehek hingga memutuskan untuk menulis tulisan tentang cinta. Lihatlah, cinta atau apa pun namanya ini, telah membuat saya yang anak grunge terbiasa mendengar lagu-lagu grunge malah mendengarkan lagu menye-menye ini di youtube.

Pengabaian saya pada lelaki aneh di kantor, bukan tipe lelaki yang bisa membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama, terpaksa saya hentikan, karena dia sepertinya setelah beberapa kali curi-curi pandang, di hari Jumat pekan ketiga saya bekerja di Amole, Papua, memberanikan diri menyapa saya walau hanya dengan satu kalimat pendek, dan tersenyum. Senyum kaku dan dingin sedingin danau di Taman Nasional Yellow Stone dekat rumahnya sana. Senyum aneh yang mungkin hanya dimiliki oleh dia dan Sheldon Copper dalam film "Big Bang Theory"

Dulu saya pikir dia sombong dan aneh. Aneh, karena beberapa kali dia lewat meja saya dan mencomot kue kastangel saya tanpa berbasa-basi, hingga timbul niat usil saya menyembunyikan toples kastangel tersebut. Entahlah bagaimana pertemuan 2 hari setelah sapaan dia yang dingin itu bisa terjadi, sepertinya Tuhan sengaja menyuruh malaikat cinta untuk mempertemukan saya dan dia di suatu area terbuka di tempat kami bekerja (shopping hall). Percakapan pun terjadi, dan entah mengapa saya dan dia langsung klop, sepertinya saya dan dia sudah pernah mengenal masing-masing sejak lama.  Dan dia yang berhari-hari cuek ke saya, dengan santai bisa menggoda saya (bahasa anak Jakarta, cengin atau nyela). Saya tidak tahu apa yang sedang berjalan setelah itu. Saya hanya merasa, saat bersama dia saya nyaman, dan saat tidak bersama dia, saya merasa ada yang kurang. Saya tidak mengapa tidak melihat dia, tapi saat saya melihat dia, hati ini nyaman, seperti orang puasa dengan tegukan teh manis hangat pertamanya.

Orang bilang dia sangat ekonomis dan asosial, tapi kenapa dia mau berbaik hati membawakan hadiah buku-buku yang dia pesan di Amazon.com saat dia cuti ke negaranya? dan dia masih ingat semua pesanan saya?

Saya pikir ini hanya cinlok, cinta lokasi. Hingga pada cuti pertama saya bertemu dengan pacar saya (mantan saat ini) di negaranya tanpa sengaja saya bercerita tentang laki-laki aneh ini. Tanggapan yang saya dapatkan di luar dugaan saya. Dia malah balik tanya, “You like him?” sambil melihat ke mata saya saat pesawat mengudara menuju Langkawi, Malaysia. Saya yang tidak siap dengan pertanyaan macam ini, serta merta hanya berkilah, “What kind of question is that?” Tapi dia malah melihat dengan serius ke mata saya, dan langsung saya jawab, “Of course no, satisfy?” Dan kemudian saya mengalihkan pembicaraan ke masalah lain"

Seribu tahun lagi

$
0
0


Dan mungkin yang membuat cinta ini terasa perih namun melegakan dengan caranya yang indah, karena ketidakmungkinan, halangan besar di antara kita. Semalam dalam mimpiku aku melihatmu sekelebat. Mungkin ratusan tahun yang lalu, dalam hiruk pikuk di bawah istana Potala, kita terpisahkan dari cengkeraman tangan-tangan penguasa yang bergerak menjauhkan aku dan kamu. Ingatkah kamu kita berdua pernah tinggal dalam satu tempat  yang sama di kurun waktu yang sama bernama Lhasa? Aku melihatmu kini, di sini, dalam ruang dan waktu yang tak berjeda, di Amole, Papua, ribuan kilometer dari Tibet. Gunung-gunung raksasanya  mirip dengan tanah kita pernah tinggal dahulu di Tibet, beda dengan tanah asalku di Pulau Jawa. Walau orang-orangnya kebanyakan berwarna kulit jauh lebih gelap, berambut keriting, tetapi mereka juga menyenangi warna-warna mencolok yang mereka tampakkan dalam rajutan benang Noken.
Dalam mimpiku kita berkostum aneh  bukan seperti pakaian yang kita kenakan saat ini. Kamu dan aku, berada di abad yang jauh dari saat kita terpisah dulu, namun hati kita masih terpaut, mungkin ini yang menggerakan lidah kita menyerukan kata yang sama, Tibet” saat menjawab tujuan backpacking berikut. Ke Tibet, jika hati ini masih terpaut, kuyakin kita akan bertemu di bawah istana Potala, setelah sekian abad berlalu. 

Jika memang harus menunggu seribu tahun lagi untuk cinta yang bertemu, biarlah waktu menerbangkan kita dikehidupan yang lain. Aku dan kamu, bereinkarnasi dalam kehidupan yang baru dengan cerita yang lebih manis, asalkan di sana, hati kita masih terpaut, dan aku masih bisa melihat wajahmu, wajah yang ingin kubuat tersenyum. Seribu tahun menanti, asalkan hati kita tidak berubah. Biarlah waktu mempermainkan cinta kita hingga dia jera dan letih mengujinya,  hingga tiba saatnya tidak ada lagi penghalang cinta kita. Tibet, tempat yang hanya kukenal lewat mimpi-mimpiku sejak aku bertemu kamu pertama kali di Amole, aku ingin kembali ke sana, ke rumah tempat kita melihat bumi pertama kali. 

Sayang, tahukah kamu, Mas Garnadi tercekat saat kubilang, “Saya tidak tahu apa namanya perasaan yang saya rasakan pada laki-laki itu. Cinta? Jika benar mengapa terasa pedih? Mengapa saya harus mengalami ini? Sekalinya saya bertemu laki-laki yang aneh, cinta saya terhalang oleh orang yang tidak pernah saya pikirkan akan menjadi masalah besar bagi saya” Mas Garnadi terus mendengarkan ceritaku. “Dia satu diantara ....” “Seribu?” mas Garnadi menukas lembut. “Sejuta! Satu diantara sejuta laki-laki di bumi! Dia laki-laki teraneh yang pernah saya jumpai dalam hidup saya!” “wow!” Aku melihat laki-laki peranakan Jawa Cina di depanku terhenyak, matanya yang sipit terbelalak. “Kenapa Mas?” “Biasanya saya hanya mendengar satu diantara seribu”. Aku pun terdiam, mungkin ini wujud lain dari cinta? Tanpa terasa air mata merembes dari kedua mataku, dan dengan sigap Mas Garnadi menawarkan tissue. Aku tertawa, antara malu telah terlihat lemah menangis karena cinta di hadapan orang lain dan lega akhirnya keluarlah perasaan yang selama ini kupendam. Karena egoku yang besar, aku menyangkal telah mencintai laki-laki ini begitu dalam di jiwaku. “Laki-laki lain boleh datang dalam hidup saya, tapi dia telah mengunci mati hati dan jiwa saya” kataku lagi tanpa malu. Sayang, harus berau pa reinkarnasi lagi cinta kita bisa bertemu?

Tercerabut di Amole

$
0
0


Di sini di Amole, kita hanyalah manusia-manusia terasing yang terpaksa menggabungkan diri walaupun berbeda tujuan. Kita terbang ribuan kilometer hanya untuk membangun kehidupan yang lebih baik di tanah asal. Tapi aku, aku mulai percaya Tuhan mengirim aku ke tempat yang selintas kuyakini mirip dengan tanah kita Bod untuk melihat kamu lagi setelah ratusan tahun kita terpisah. Kamu di selasar Hero mengingatkan aku pertemuan pertama di Pasar Lhasa. 

Mari kita kembali ke pertemuan pertama kita di Amole 2 tahun yang lalu. Sejujurnya tidak sulit bagiku untuk mengabaikan kamu, seandainya di hari Jumat minggu ketiga ini kamu tidak menyapaku. Aku ingat di hari pertama aku bergabung di kantor ini, Bu Lily  entah becanda atau serius mengingatkanku, “Raisa, yang itu pacar saya ya, jangan suka sama dia ya” wanita paruh baya di depanku ini mengibaskan rambut bob sebahunya. Sejenak aku merasa hilang orientasi, “ini bukan jaman SMA kan?” batinku.  

Aku ingin tertawa keras mendengar peringatan dari Bu Lily hingga gunung-gunung batu di depan kantor hancur luluh lantak. Apa susahnya mengabaikan laki-laki seperti kamu? Aku yakin meniadakanmu dari pandanganku adalah pekerjaan mudah. Kadang aku pikir kamu makhluk asing yang tersesat di bumi dan gagal beradaptasi. Kadang aku pikir kamu seperti Sheldon di film “Big Bang Theory” yang aku pikir tokoh itu sama sekali bualan tetapi  mengapa menjadi sangat nyata di tubuhmu, di gelagatmu, terlihat jelas pada cara berjalan dan bicaramu? Kadang aku menganalisa mungkin kamu masih terperangkap dengan gaya hidup di masa sebelum reinkarnasi?  

Aku tak akan lupa, itu hari ke 21 aku bekerja di tambang emas ini, kamu selalu lewat di depan mejaku tanpa suara, tapi jari-jarimu yang pucat kurus selalu mampir ke toples kastangle yang kutaruh di mejaku. Untuk beberapa detik kita terperangkap dalam kesunyian yang kikuk. Ada energi yang aneh, energi yang kamu pancarkan dan aku keluarkan, bersenyawa menjadi energi panas yang mulai kunikmati tetapi berusaha keras kuabaikan. Di saat berpapasan di selasar kantor, di saat pandangan mata bertumbukan lancang, kamu tersenyum dan aku membuang muka tanpa bicara. Hingga di hari ke21 ini, benar-benar memuncak kemarahanku, “Ini cowok ngga diajarin basa-basi sama orang tuanya kah?” kesalku dalam hati, “setiap lewat meja seenaknya mencomot kastangle gue !”. 

Di hari itu muncul keisenganku, aku hapal dan bisa merasakan saat kamu mendekat walau kamu berjalan seperti hantu, tanpa suara. Saat jemarimu yang panjang nyaris menyentuh pinggiran toples kastangelku, dengan sigap kuraih toplesku dan kumakan 1 kastangel. Kamu tersenyum. “Astaga, orang ini bisa tersenyum”, batinku ikut tersenyum. “Hai” kata pertama yang keluar dari mulutmu setelah 3 pekan aku bekerja di sini. “Want some?” basa-basiku sambil menyodorkan toples kastangle, karena aku tahu separuh isinya telah kau habiskan. Kamu tertawa lagi. Senyum itu, sepertinya sangat akrab, pernah kulihat entah di mimpi atau kehidupan sebelumnya. Senyummu sangat dingin, malu-malu, tapi aku bisa melihat ketulusan, senyum yang sudah kamu ingin berikan sejak hari pertama aku bekerja di sini.

Minggu siang itu, kamu duduk sendiri,  terasing di tengah kursi-kursi makan yang dipenuhi orang. Meja-meja di sekitarmu penuh dengan suara tawa sementara kamu duduk sendiri berusaha menikmati makananmu. Mata kita bertumbukan untuk beberapa detik yang hilang, saat aku mencari kursi kosong. Kamu menyilakan aku duduk. Jarum jam seakan bergerak cepat, hingga tanpa sadar kita telah berbicara lebih dari 2 jam. “Hey, apa yang kita bicarakan tadi? “ batinku. Kita seperti kawan lama yang terpisah bertahun-tahun dan bertemu kembali di Amole. Yang aku tahu kita bertukar cerita tentang backpacking ke Eropa, selebihnya aku mengamati senyum dan tawamu, kamu bukan robot yang aku lihat di kantor.

Aku melihat matamu berbinar saat menjelaskan pantai Dubrovnik di Kroasia, dan kamu tertawa saat aku marah karena kamu bilang, "Paris? What is that?" 

Aku pikir hanya aku yang terpesona di hari itu, tapi entah kekuatan maha daya apa yang menggerakan kamu untuk mendekat dan mengejekku, “Hi you just suggested me not to eat junk food, but look at your self! cheeky!! ” Kamu tertawa puas, saat mendapati aku berjongkok di depan tumpukan coklat Australia. Aku masih tersenyum walau punggungmu telah menjauh beberapa detik yang lalu. Tahukah kamu, hari itu, kamu telah mencuri hatiku, aku ingin menjadi malaikatmu, aku ingin membuatmu selalu tersenyum dan tertawa.


Catatan : Amole dalam bahasa suku Amungme (salah 1 dari 7 suku yang harus direlokasi dari wilayah tambang emas terbesar di Indonesia) berarti "salam", "damai" atau "terima kasih" jika disampaikan untuk jumlah jamak, menjadi "amolongo" 

Fields of Gold - Eva Cassidy (Sting's song)

$
0
0



You'll remember me when the west wind moves among the fields of barley.
You can tell the sun in his jealous sky as we walk in fields of gold.
So she took her love for to gaze awhile among the fields of barley.
In his arms she fell as her hair came down among the fields of gold.

Will you stay with me, will you be my love among the fields of barley?

You can tell the sun in his jealous sky as we lie in fields of gold.
See the west wind move like a lover so upon the fields of barley.
Feel her body rise when you kiss her mouth among the fields of gold.

I never made promises lightly and there have been some that I've broken,

But I swear in the days still left we'll walk in fields of gold.
We'll walk in fields of gold.

Many years have passed since those summer days among the fields of barley.

See the children run as the sun goes down as she lying the fields of gold.
You'll remember me when the west wind moves upon the fields of barley.
You can tell the sun in his jealous sky when we walked in fields of gold,
When we walked in fields of gold, when we walked in fields of gold.


Johanes Magal, ko pu rumah dimanakah?

$
0
0



Kami mempunyai kolega asal Papua yang terkenal sebagai orang Papua teramah di kantor. Nama lengkapnya Johanes Magal, asal suku Damal salah satu dari 7 suku yang direlokasi dari kawasan tambang Amolepura. Suku Damal sebenarnya bukan asli kawasan Pegunungan Tengah, tetapi karena pernah berjasa kepada suku Amungme, mereka dibolehkan tinggal di Amungsa, wilayah adat milik Suku Amungme yang sejak perjanjian kontrak karya tahun 1967 menjadi konsesi perusahaan tambang dari Amerika. Amungsa adalah kata dalam bahasa Amungkal (bahasa percakapan yang digunakan Suku Amungme) berasal dari 2 kata, amung yang berarti utama atau pertama, dan sa yang berarti kawasan atau wilayah, sehingga amungsa bisa diartikan kawasan utama atau kawasan pertama. 

Kembali lagi ke Johanes Magal, karena gayanya yang 'fungky', teman-teman lalu memanggilnya Jojo, "Biar terkesan keren" begitu kata mereka dan ternyata Jojo yang ramah tidak keberatan. Laki-laki Damal berusia 27 tahun ini  tidak tinggal di desa-desa terdekat dengan Amolepura, seperti Banti Waa, Arwanop atau Tsinga, tetapi dia tinggal di dekat Paniai. 

Pertama kali dikenalkan di kantor, terus terang aku cukup ngeri, perawakan Jojo tinggi besar, dengan perut gemuk dan kulitnya sangat hitam, bukan coklat gelap seperti Sri Magai, mirip orang-orang Nigeria yang aku sering lihat di Montmartre, Paris. Sekilas tampilannya mirip preman-preman di daerah kumuh Jakarta. Tapi kengerianku mencair, saat dia berdiri, menyalami aku sambil memamerkan gigi-giginya yang berwarna putih kekuningan karena nikotin dan pinang. Senyumnya sangat ramah dan bukan basa-basi. Jojo termasuk orang Papua yang berpendidikan bagus, dia mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah di fakultas ekonomi salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Di kantor dia bekerja mengurus perjalanan cuti karyawan nasional.

Yang aku suka dari Jojo, dia sangat ceria, semangat dan sangat membantu kalau ada yang kesusahan, meskipun kami tidak tahu kesulitan apa yang dia hadapi di keluarganya di Paniai. Aku jarang melihat dia cemberut atau kelihatan sedih. Mukanya riang, dan kalau tertawa benar-benar lepas seolah tidak ada masalah dalam hidupnya. Kalau sudah begitu, terlihatlah deretan gigi-gigi putih kekuningannya, kontras dengan kulit hitamnya. Kadang-kadang saat kami kelihatan serius, dia akan berbagi cerita mop, lelucon khas   Papua yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. 

Suatu hari saat melihat kami sibuk sendiri-sendiri karena proses perekrutan buruh tambang yang jumlahnya ratusan, Jojo lalu berdiri, "Hai teman, kalian berhentilah bekerja sebentar, sa pu cerita mop, dengar dulu!" Aku melirik ke dia, Jojo ini seharusnya menjadi "stand up comedian" yang mulai marak di Jakarta, dia memiliki bakat alami dan hapal banyak cerita mop yang sangat khas Papua. Mop sendiri diciptakan anak muda Papua yang menuruku sangat cerdas mengenal diri mereka, kadang-kadang menertawakan kebodohan mereka atau menyindir tentara yang belasan tahun "dekat" dengan kehidupan mereka sejak kecil. 

"Meno! Ko mulailah lah, tong mau lembur kah?" ucap Syamsul dengan aksen Bugisnya. 

 
Jojo melirik Syamsul, "Hei oyame, bisa kasih sabar ka?" Jojo memasang muka serius. 
"Kenapa ko kasih serius itu muka mo?" tanya Lindi. 
"Ah sa mau cerita tentang tentara Indonesia! Dengar ini cerita serius!" Jojo pun memulai ceritanya  "Suatu hari, ada tentara yang bergerilya di dalam hutan Paniai untuk patroli. Karena tentara sulapar, saat ada lihat pohon kelapa yang buahnya banyak, jadi pace tentara langsung naik ke atas pohon kelapa. Ternyata pohon kelapa itu milik Pace Nerius. Pas pace Nerius keluar rumah, langsung lihat ada orang diatas pohon kelapanya. serentak pace Nerius langsung batariak tra baik....

Nerius : wooooiiiii.....ko turun!!!!!!!!!!

Karena tentara su merasa bersalah dan tra minta ijin sama yang punya pohon, jadi tentara turun dan tra banyak bicara.

Pas su mau sampe di bawah, Nerius lihat pace tentara pu laras senjata yang ada keluar sedikit, Nerius tra jadi marah. Dia su pusing dan takut yang bukan main punya. Nerius  pikir.....pikir...pikir....pas dapat ide, dan tentara juga susampai dibawah.

Tentara : Bapak yang tadi suruh saya turun ka...???
Nerius: ahhh....iyo pa. tadi sa suruh bapa turun supaya bapa pindah ke pohon sebelah saja, dia pu buah lebih banyak....!!!!

Hahahaha kami tertawa terbahak-bahak, inilah cara orang Papua menertawakan kepasrahan mereka yang tanahnya belasan tahun dijadikan DOM (Daerah Operasi Militer), mereka sudah biasa melihat tentara dari tanah Jawa atau daerah lainnya sejak kecil.


Selain Maria Kemong, Jojo masuk dalam daftar orang-orang Papua yang aku kagumi semangat hidupnya.

Nah suatu saat aku iseng ngobrol dengan dia di teras kantor saat dia sedang bakar, istilah di sini untuk merokok, sambil memandang kabut yang mulai menutupi gunung-gunung raksasa di depan kami.

  Aku : Pace, ko pu rumah di manakah?
Jojo : Ah dekat itu Mace, di Paniai, di balik gunung itu (Jojo menunjuk gunung tepat di belakang gunung yang ada di depan kantor kami).
  Aku : Oh dekat itu, cuma beberapa jam ya?
Jojo : Oh tidak Ade ! Dari Timika mesti jalan naik turun bukit dan masuk hutan 2 hari 2 malam, Mace!
  Aku : (takjub) hah? gunung yang itu kan? *mencoba memastikan*
Jojo : Ko pikir gunung di Papua kecil-kecil seperti di Pulau Jawa.
Jojo tersenyum dengan gaya khasnya.

  Aku : Bener kan gunung yang itu Pace? (sambil menunjuk satu gunung yang tepat berada di belakang gunung di hadapan kantor kami) *masih tetap berusaha memastikan, maklum aku ini tipikal orang yang belum puas kalau belum dapat jawaban yang jelas dari keingintahuanku*

Jojo : ah, bukan, ko salah! Itu, satu lagi di belakang gunung itu!

  Aku mulai pusing, tadi dia bilang gunung yang tepat di belakang gunung depan kantor kami, dan di Amolepura banyak sekali gunung-gunung batu raksasa.  Setiap pulang kantor atau berangkat, aku gagal menghitung jumlah gunung yang mengerubungi Site tempat kami bekerja.

Aku : (dari pada pusing, lebih baik aku mengakhiri percakapan tentang lokasi rumah dia) Ah Pace, kalau begitu lebih cepat sa sampai ke rumah di Jakarta ya, cuma 6 jam dengan pesawat dari Timika :-)

Jojo : itu sudah! 

Jojo tertawa terpingkal-pingkal.

Entah mengapa tiba-tiba di telingaku berdengung OST karton Jepang yang sangat familiar, "Mendaki gunung turuni lembah...." (OST komik Jepang) tidak kuat membayangkan perjalanan teman saya Jojo setiap pulang cuti dan balik ke kantor dari Paniai. Kemarin saja saat kami berjalan-jalan ke air terjun dengan jarak kurang dari 1 km dari barakku, kaki ini terasa kaku seperti kayu. Pahaku pegal-pegal dan baru kembali normal 1 minggu kemudian, setelah kaki dipijat dengan krem khusus. 

Ah seandainya anak kota mengenal Jojo, pastilah malu karena terlalu manja.

Suatu sore ada kolega kami yang tidak berhenti mengeluh karena bis karyawan jadwal yang biasa dia pakai tidak beroperasi, dia terus-terusan mengeluh harus berjalan kaki ke terminal bis "Kerinduan" yang berjarak 200 meter dari halte biasa dia menunggu bis oranye. Kami semua pura-pura tidak mendengar karena sudah dalam tahap bosan tinigkat dewa, sudah 3 bulan ada di Site, orang-orang sini bilang sudah "kayu". Jojo tiba-tiba menghardik Dewa, "Pace, bisa diam kah? Dari tadi ko mengeluh saja trada bersyukur! Sa punya cerita lebih menyedihkan, sa kembali cuti harus jalan berkilo-kilo meter mendaki bukit!" Dewa nampak kaget, tidak biasanya Jojo yang manis, ceria dan lucu bisa marah seperti itu, rasanya kami semua ingin bertepuk tangan, mungkin itu saat jlebnya Dewa. 


Catatan  
1. Meno : panggilan untuk orang Papua asli di suatu tempat 
2. Oyame  : panggilan untuk pendatang (bisa pula untuk suku Papua yang tinggal di daerah suku Papua lain) 
3. sa : saya 
4. pu : punya  
5 tong : kita 
6. Pace : panggilan untuk laki-laki 

Ibu, Sa su bisa baca tekarang!

$
0
0


Obaya Zondegau, laki-laki Amungme berperawakan tinggi kurus itu tiba-tiba masuk ke dalam kantor dengan langkah gusar. Dia langsung berdiri di ruangan Administrasi. Ruangan persegi panjang 4 x 10 meter itu berisi tim HRD, tim akomodasi dan travel. Laki-laki dari suku Amungme ini melongokkan kepalanya di loket HRD, kotak berukuran 50 cm kali 100 cm.  Obaya mengenakan kaos hitam bergambar wajah Bob Marley dan dan ganja warna merah, hijau dan kuning yang ditutup dengan jaket hijau lusuh berwarna hijau lumut. Sepintas penampilannya mirip Che Guevara versi Papua.  Dia mengelus-elus brewok keriting yang menutup sebagian besar dagunya. Kedua matanya yang besar mendelik dan bibir tebalnya mengatup. Dia masih berdiri agak membungkuk dan tangannya bersendeku di loket. Dihadapannya dibatasi oleh dinding gipsum berlubang, duduk Nila yang masih tekun menatap lekat-lekat layar komputer. Sudah 5 menit Obaya berdiri seperti itu di depan Nila. Masih mengenakan sepatu safety boot warna coklat muda, kaki kirinya menendang dinding gipsum di bawah loket yang tentu saja membuat dinding gipsum retak. "Sa mau bicara dgn HRD! Kalau ada yang bicara kamu harus dengar" 

Robbie segera keluar dari ruangan HRD menemui Obaya dan mengajaknya ke ruang rapat di ujung kanan selasar kantor. Dia menelpon ruanganku. "Mbak Raisa, bisa ke ruang meeting?” 

Aku segera menutup gagang telpon. Di dalam ruang Robbie dan Obaya duduk berhadapan dibatasi meja persegi panjang besar. 

"Ko siapa?" bentak Obaya sambil menunjuk Robbie "Sa ke sini” katanya dengan suara seperti kumur-kumur sambil menunjuk meja, “ hanya mau bicara dengan orang yang bertanggung jawab dengan penerimaan karyawan”

"Pace, saya yang selama ini urus perekrutan" Robbie kemudian menjelaskan panjang lebar sesuai dengan kebijakan HRD selama ini putra Papua terutama dari 7 suku tiga desa sudah banyak yang ikut tes hanya saja mereka gagal di tes Q & V. 

Obaya menjorokkan badannya ke meja dengan jari telunjuk kanannya diarahkan ke muka Robbie yang duduk di hadapannya. "Ah ko oyame tra bisa tipu-tipu meno!" hardik Obaya. Sa lihat banyak orang baru, oyame semua! Trada meno!! Orang jauh-jauh kalian datangkan dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi. Kami pu ini gunung hanya melihat!” 

Aku melirik ke Robbie, menahannya untuk berbicara panjang lebar karena kelihatan wajahnya mulai merah terpancing bentakan Obaya. "Pace, kita selalu memenuhi aturan komposisi karyawan Papua terutama teman-teman dari 7 suku 3 desa. Pace kemarin ikut meeting toh?"

"Ibu Raisa, ko diam! Jangan putus kalau sa bicara!” tangannya menunjuk ke aku tapi pandangannya ke arah meja. 

Aku kaget, tapi berusaha tenang menampilkan kewibawaanku sebagai HRD. Dalam hati sempat marah karena dibentak karyawan yang hanya lulusan SD, tapi dia dari suku Amungme, si pewaris gunung-gunung emas di Amolepura dan Ibuku selalu bilang, dimana tanah dipijak di situ adat dijunjung. Obaya kemudian bercerita tentang sejarah sukunya. Ada tujuh suku yg dulu tinggal di kawasan tambang Amolepura, Amungme, Kamoro, Ndugal, Moni, Dhani, Damal dan Mee yang sejak tahun 1970an direlokasi dari kawasan konsesi Perusahaan Tambang dan emas ini. Dua suku terbesar adalah Amungme (di dataran tinggi) danKamoro (dataran rendah, Timika). Amungme adalah pemilik hak ulayat gunung-gunung emas. Dalam bahasa mereka, Amungkal, Wilayah ulayat disebut Amungsa, yang diperlakukan sebagai ibu mereka yang harus dijaga kelestariannya. Tetapi tanpa permisi pada si empunya gunung apalagi mempelajari antropolgi dan budaya Amungme, seorang presiden dari tanah Jawa bernama Suharto menandatangani kontrak karya dengan perusahaan tambang dari Lousiana, Amerika Serikat.


“Sejak Amungsa dijual ke Perusahaan, kami terusir, bahkan jika kami ingin melihat ke tempat kami tinggal dulu, Kopasus menghardik!” dia terus meracau tanpa memperhatikan kehadiran aku dan Robbie di dalam ruangan. "Kami dianggap maling di rumah kami!" Mata Obaya berkaca-kaca ingat cerita bapaknya. "Siapa yg tra takut dihardik dengan senjata laras panjang?" 

"Pace bukannya di Banti Waa ada sekolah? Kenapa masih ada yang buta huruf?" tanyaku lembut. 

"Ah itu tekolah baru! Kami bisa pintar kalau tekolah ada sejak dulu! Kenapa kami harus demo dulu baru kalian mendengar kami??" Tanya Obaya dgn mata nanar. Tahun 1996 pernah terjadi demo, teman-teman dari 7 suku tiga desa Arwanop, Banti dan Opitawak datang berduyun-duyun. Sebagian membawa panah  yang diujungnya diberi racun mematikan dari tumbuhan di Banti Waa (lembah) atau racun dari biji bunga Datura. Sebagian sudah sangat marah melemparkan batu sekepalan tangan ke arah kantor utama di MP (mille point) 68.  Karena para manajemen di gedung utama tidak ada yang keluar menanggapi kami. "Kenapa kami harus mengemis untuk dapat kerja di gunung kami?" 
Datura












Demo itu membawa hasil, Perusahaan menerapkan kebijakan memasukkan komposisi karyawan Papua dalam komponen pekerja minimal 20 %. 

"Tapi dari orang-orang Papua tadi, hanya sedikit orang 7 suku yang bisa jadi karyawan! Kami selalu gagal tes! Apa itu tes tipu-tipu! Kami dibolehkan bekerja di sinitapi kami dibatasi dengan tes! Kami tidak bisa baca Ibu!!!" 

Aku menyimak, miris di milenium ketiga ada orang seusiaku yang masih buta huruf, padahal perusahaan tambang emas terbesar di dunia sudah beroperasi lebih 30 tahun. Aku teringat cerita Pak Marno, kolegaku yang sudah bekerja hampir 30 tahun di sini. Sejak tahun 1980 dia dan teman-teman satu timnya diam-diam pergi ke Banti Waa dan Arwanop mengajar anak-anak Papua membaca, berhitung dan menulis. Tetapi Pak Marno malah dicurigai oleh perusahaan, padahal niatnya mulia, membalas kebaikan kepada mereka, si pewaris pegunungan tengah. 

"Mbak, saat saya bergabung, teman-teman Amungme sangat membenci orang Jawa. Orang Jawalah yang menggadaikan tanah mereka ke pihak asing di tahun 1967. Saya hutang pada mereka, saya menghidupi anak-anak saya dari gunung mereka yang sekarang sudah rata" asap rokok menutupi mata Pak Marno yang mulai berkaca-kaca.

Anak-anak kecil yang mungkin sekarang seusia mbak bilang, "Bapa, kami ingin bisa baca, supaya bisa kerja di Perusahaan itu. Bapa teman sa dari Biak yang kerja di situ digaji besar, bisa beli babi banyak" 

"Lho Pak, bukannya perusahaan sudah memberi 1 % keuntungan sebagai kepedulian sosial ke LEMASA?" 

"Ah 1 % itu diserahkan ke LSM di Timika, tapi penggunaanya kurang efektif Mbak. Perusahaan asal ngucurin duit lepas tangan. Mereka juga ingin maju, ingin bisa seperti orang-orang Indonesia yang pintar. Banyak dari mereka sekolah di Yogya, karena ingin membangun tanahnya" 

Pertanyaan Obaya membuatku tersadar dari lamunan.

"Ibu, kami tidak mau dengar lagi tipu-tipu!! Kami ingin 5 orang anak kepala suku ini diterima! Tidak perlu tes!! Tes apa? Mereka tidak bisa baca! Bukan salah kami! Kalau kami pintar kalian tidak diperlukan bekerja di sini!" 

Ada perang dalam batinku sbg HRD, peraturan melawan humanisme, mana yang harus aku pilih? Tes Q & V adalah tes yang harus diikuti orang Papua dari 7 suku yang berasal dari 3 desa. Tes ini diadopsi dari lembaga di Australia yang biasa digunakan untuk orang-orang Aborigin. Untuk kita orang Indonesia pada umumnya yang bisa baca tulis, tes ini sangatlah mudah. Tujuan tes untuk mengetahui kemampuan baca-tulis-komunikasi dan berhitung dasar. Tapi mungkin untuk orang  7 suku yang buta huruf, bahkan baru mengenal bahasa Indonesia, tes ini seperti tes masuk UMPTN yang sulit. Apalagi mereka dites berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Aku dulu pernah tertawa saat mendengar seorang Amungme bicara dengan atasannya "Pace sa trabisa masuk kerja, sa takis" Aku tanya pada foreman atasannya lelaki Papua asal Biak, Franky Rumbewas “Takis itu apa Pace?” “Sakit bu”. 

Begitulah kemampuan mereka memahami bahasa Indonesia, kadang-kadang s dibaca t dan sebaliknya ada pula pengucapan yang berbeda karena itulah yang mereka tangkap saat pendatang bicara dalam bahasa Indonesia. Makin lama aku makin memahami. Dapat dibayangkan jika selama puluhan tahun aku bicara dengan bahasa Jawa Krom Inggil, tapi serta merta dalam waktu cepat sejak ada perusahaan dari luar datang, untuk bisa hidup dan bersosialisasi dengan pekerja pendatang aku harus bisa bahasa yang baru aku kenal?

Terkadang hari Minggu biasanya aku dan teman-teman penggemar fotografi datang ke Desa Banti Waa dan Arwanop membawa permen, puzzle, scrable dan  buku-buku. Di sana selain memotret keindahan alam, sedikit – sedikit aku belajar kosa kata bahasa Amungkal dari anak-anak remaja perempuan yang senang jika dipotret. “Narsisme ternyata sifat fitrah manusia” senyumku dalam hati saat mereka kegirangan melihat wajah mereka di kameraku. Beda dengan orang-orang Wamena, mereka tidak minta bayaran untuk berfoto. Tetapi akan senang jika kami mencetak foto mereka dan memberikan hasil pemotretan itu kepada mereka. 

Keesokan sore, masih mengenakan overal kerja yang coreng moreng dan helm, Obaya membawa 5 orang ke ruanganku. 

“Catat nama mereka Bu! Sa percaya Ibu bisa bantu kami. Mereka anak kepala2 suku, kenapa tra boleh kerja? Jangan sampai ada kekerasan atau duduk manis di tempat kerja!” 

Yang paling kuingat Linus Beanal, dia dulu datang dengan muka sedih dan kepala menunduk. Walaupun belum bekerja, setiap datang ke kantor dia mengenakan sepatu safety boot Perusahaan. Kalau bicara walaupun seperti kumur-kumur dengan suara serak, tetapi penuh kemarahan dan kepedihan. Bibirnya yg tebal bergetar saat bicara. Usianya baru 25 tahun tetapi penampilannya seperti sudah jauh lebih tua dari usia asli. Setiap datang, gaya pakaiannya selalu sama, kaos Papua dan kemeja kotak-kotak lusuh, dengan kupluk warna-warni dan noken warna norak yang ia selempangkan. Linus pernah membentakku di ruangan rapat 

"Ibu dengar sa bicara dulu!" sambil menghentak meja. Jantungku rasanya ikut lompat. Boleh saja Linus buta huruf dan aku lulusan universitas ternama, tetapi di Papua, dia adalah pewaris Amungsa, anak kepala Suku Amungme dari istri pertama. Setelah rapat  dan komunikasi yang alot, Manajemen memutuskan mengirim  Linus dan keempat anak kepala suku lainnya ke pelatihan dasar membaca menulis dan berhitung di QMS (quality management system). Mereka sangat senang diberi kesempatan sekolah. Aku ingat kelima orang itu, Linus Beanal, Pilemon Janampa, Lukas Natkime, Natalis Belau dan Serwanus Wandagau datang ke ruanganku. Kali ini wajah coklat gelap mereka tampak berseri-seri. Mereka berkata dengan bahasa yang sopan. 

"Ibu Raisa, kami terima kasih, kami bisa tekolah"

"Ko jangan malas ya! Sekolah yang rajin, kalau sakit, bilang ke Ibu guru datang ke Rumah Sakit untuk minta surat keterangan dokter”

“Kalau ada perang suku bagaimana Ibu? Kami tra bisa lewat!” 

“Tetap ko lapor, Pace! Tapi kalau ada perang suku kami pasti diinformasikan Tongoi Papua. Ko jangan malas ya! Kami yakin kalian bisa!" kataku menyemangati. 

noken kecil

Aku sempat khawatir jika mereka tidak lulus program ini setelah 3 bulan sekolah. Di luar dugaanku, mereka sangat cerdas dan semangat. Saat mereka lulus, aku seperti seorang ibu yang bangga. Lihatlah, mereka bisa pintar jika diberi kesempatan belajar bahkan beragumentasi dengan gurunya. Beda dengan budaya Jawa yang mengajarkan orang untuk tidak berani mengutarakan pendapat, orang Papua, terutama yang tinggal di Pegunungan Tengah sejak remaja dibiasakan untuk berdebat. Dalam budaya mereka ada prinsip "Setuju untuk tidak sepakat". Ada semacam acara dimana para laki-laki muda berkumpul untuk beragumentasi di suatu hari, walaupun misalnya kemarin sudah ada kesepakatan, besok mereka akan menyanggah hasil kesepakatan itu. Perilaku mereka pun berubah lebih kenal sopan santun. Linus mengundangku ke Banti, istrinya memberikan noken (tas) tanda terima kasih.

Kelaminmu, martabatmu!

$
0
0
*Peringatan : tulisan ini hanya untuk orang-orang dewasa mental dan pikiran, yang mempunyai pikiran picik, apalagi menghakimi cerita ini atau menghakimi penulis lebih baik tinggalkan halaman ini. Tulisan ini hanyalah dramatisasi, versi fiksi dari peristiwa yang pernah terjadi di suatu tempat di suatu masa, diperlukan kearifan tingkat dewa untuk membacanya. Saya, si tikus gunung hanyalah tukang dongeng alias story teller. Yang mau komentar macam-macam, silakan cuci mulut dulu dan mulailah menulis cerita anda sendiri. Selamat menikmati. Sekian & terima kasih*

 



Lampu dari salah satu kamar di lantai tiga barak L menyala sebentar kemudian redup. 30 detik setelahnya jendela di kamar itu terang, lalu gelap. Terang dan gelap ini membuat pola dengan interval 30 detik hingga setelah nyala ketujuh kamar tersebut gelap. Sebuah sosok bertopi melesat dalam gelap dari arah jembatan.  Dia menerobos kabut pekat tidak gentar dengan gemuruh suara air sungai yang beriak lantang di bawah jembatan. Sosok bertopi  melangkah maju ke bangunan empat lantai di hadapannya dan dengan perlahan menapaki anak-anak tangga. Sementara di seberang sana seorang lelaki tinggi besar berbisik di handy talky, “Babi 2 pada Babi 1, kita bisa mulai memangsa kucing kawin sekarang, komandan?”  


"Babi 1 pada babi 2 , tunggu dulu biarkan mereka beraksi! Babi 3 dan Babi 4 kalian masih siaga?"

"Babi 3 pada babi 1, kami tunggu perintah komandan"
"Babi 4 pada babi 1 saya juga komandan"
"OK kalian tunggu komando saya" Babi 1 menaruh handy talkienya di sisi kanan celana dan kembali memonitor sosok bertopi.    
Shot from wanagon office, papua


Bayangan sosok bertopi itu sekarang berjingkat menuju 1 kamar di ujung lorong sebelah kanan lantai 3. Dia mengetuk pintu 7 kali. Tanpa jeda pintu terbuka, laki-laki di dalam langsung menariknya masuk ke kamar dan segera menutup pintu. Hanya ada suara kecupan, desahan, grudak-gruduk, tempat tidur besi bertingkat berderit setelahnya. Hanya Tuhan dan  mereka berdua yang tahu apa yang terjadi di balik kamar sempit itu.

"Babi 2, 3 dan 4 sekarang kita naik!" 

Sang komandan segera keluar dari kegelapan, diikuti tiga laki-laki tegap berhelm putih dari arah berlainan. Barak khusus karyawan pria non staf berlantai empat ini memang sepi di Sabtu malam. Sebagian karyawan turun ke Timika mencari hiburan malam, sebagian lain cukup puas menikmati hiburan seadanya, musik dan makanan kuliner Indonesia di Cafe Honai. Sebagian lain cuti dan karyawan yang besok mempunyai shift kerja sudah tertidur pulas dari jam 8 malam saat langit Subuh masih gelap, mereka sudah harus siap menanti bis ke tempat kerja. 

Mirip adegan penyergapan di film detektif Hollywood, keempat orang tadi sudah berdiri dengan posisi siaga di depan pintu kamar L325. 

"Siap?" Komandan menoleh ke kiri dan kanan memastikan ketiga anggotanya dalam keadaan siap beraksi. Namun adegan berikutnya hanyalah anti klimaks dari adegan sebelumnya, tidak sedramatis film kriminal hollywood. Sang komandan membuka akses pintu dengan kartu ID karyawannya. Dalam sekejap tanpa ada tendangan keras di pintu, ruangan terbuka. Keempat orang anggota penjaga Keamanan langsung menyalakan senter yang biasa dipakai pekerja tambang di dalam gunung. Keempat nyala senter itu berputar-putar mencari target dan berhenti beririsan di satu titik yang membuat pantat perempuan montok terlihat sangat jelas di gelap kamar. Sepasang manusia yang tengah melepas nafsu, tampak kaget dengan kehadiran tamu tak diundang. Sang perempuan yang tadi bergelinjang di atas tubuh laki-laki tak berpakaian, jatuh ke lantai. Bruk! Kedua tangannya sibuk mencari-cari jaket atau apapun untuk menutupi tubuh montoknya. 

On the road from Grasberg to MP 74

“Kalian saya berikan waktu 10 menit untuk berpakaian!” keempat petugas penjaga keamanan Perusahaan meninggalkan dua insan dimabuk nafsu ini di dalam kamar.

Tanganku meraba-raba meja di sebelah kanan tempat tidur, mencari sumber suara. “Rasanya aku tidak mengatur jam untuk bangun di tengah malam!” keluhku dalam hati masih dengan mata tertutup. Kumatikan Jam waker di meja. Tapi suara itu masih ada. 

"Orang gila mana yang menelpon tengah malam begini? Orang Jakarta ngga tahu ya di Papua sudah midnite?” aku mulai bersumpah serapah

Di Amolepura, lewat jam 9 kota kecil ini seperti kota mati, sunyi senyap, dingin dibalut kabut putih pekat. Semua orang sudah asyik dalam mimpinya, berlindung dari dinginnya Amolepura dengan bantuan alat pemanas di dalam kamar.  Tengah malam, kami sudah terlelap dalam mimpi-mimpi.

"Malaaam”
"Selamat malam Ibu Raisa”
Aku melihat layar telepon seluler, bukan nomor Jakarta.
“Maaf mengganggu Ibu Raisa, kami dari Satuan penjaga keamanan Amolepura. Malam ini ada salah 1 karyawannya tertangkap tangan melakukan perbuatan zina di barak L" 
Mataku yang tadi setengah terbuka langsung terbelalak.
"Maaf Pak, bisa disebutkan nama, nomor identitas karyawan dan departemennya?Mungkin Bapak salah orang"Di area konsesi ini banyak perusahaan privatisasi dan kontraktor, jadi mungkin saja orang yang tertangkap bukan kolegaku.
Laki-laki Jawa di seberang telpon menyebutkan nama karyawan tadi.
"Non staff?"
"Ya Bu Raisa, dari barak L" jelasnya.
Ah pertanyaan bodoh macam apa yang baru saja kutanyakan? Semua orang tahu Barak Lsalah satu dari sekian barak untuk karyawan non staff. 



MP 6 from Wanagon, Papua

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Setelah belasan tahun bekerja di bidang SDM baru kali ini menangani masalah karyawan yang tertangkap melakukan perbuatan asusila di lokasi dan aset Perusahaan dengan seorangg karyawati. Terlebih lagi fakta yang mengagetkanku karyawan ini sudah mempunyai istri di Jakarta sana! Ancaman hukuman dari pelanggaran ini tidak bisa dinegosiasi,  dia hrs diPHK tanpa pesangon dan secepatnya harus hengkang dari Amolepura. Tidak ada ampunan untuk karyawan yang masih dalam ikatan pernikahan berzina di area konsesi tambang. PHK dengan tidak hormat, itulah hukumanmu! 

Budaya di Amolepura, perusahaan tambang emas dari Lousiana, Amerika Serikat ini sebenarnya sangat Amerika. Petunjuk umum dan fasilitas ditulis Petunjuk umum dan fasilitas ditulis dalam bahasa Inggris, contohnya aula makan dinamakan mess hall, titik point disebut mille point bukan kilometer, nama jalan dinamakan Street 1 hingga Street 30, pengelompokkan dengan nama Inggris Hidden Valley, Rainbow atau Ridge Camp dan lain-lain istilah berbau Amerika. Acara barbeque gratis diadakan tiap Minggu siang, belum lagi pesta halloween di Cafe Lupa Lelah dengan sajian musik & aneka minuman keras dari bir hingga yang termahal seperti wine, vodka, atau champagne dengan peserta pesta yang heboh mengenakan kostum horor ala film Hollywood. 

Sebenarnya sejak belasan tahun lalu selalu ada gosip tentang karyawan dan karyawati yang tersandung perkara esek-esek ini. Kebanyakan antara sesama lajang tapi ada pula lelaki beristri dengan karyawati lajang. Tetap saja peristiwa yang sama terulang. Entah karena udara malam yang dinginnya mengalahkan Puncak Pas, Bogor.Mungkin juga karena stress di tempat kerja dan hasrat laki-laki dewasa yang tidak tersalurkan setelah sekian purnama. Entah karena cinta lokasi berada di daerah pedalaman Papua selama sekian bulan yang membuat empati dengan mudahnya tumbuh di hati keduanya. Kalau pelaku sama-sama bujangan, dalam waktu tiga bulan keduanya harus menikah. Jika menolak dinikahkan? Siap-siap angkat koper dari Amolepura untuk selama-lamanya. Pikiran usilku tidak bisa membayangkan bagaimana jika mereka melakukan hubungan seksual karena keisengan nafsu nakal mereka sementara keduanya atau pihak pria sama sekali tidak ada perasaan cinta? Neraka seperti apa yang akan mereka hadapi jika harus tinggal serumah dengan orang yang tidak mereka cintai? Pasti mereka akan menyumpahi nafsu keparat yang tidak bisa mereka kendalikan dengan bijak. 

Gosip di kota kecil ini mudah menyebar seperti bau busuk ikan yang walau disembunyikan akan tercium juga. Dalam hitungan detik rumor akan menyebar dari mulut ke mulut. Para pewarta gosip pun akan senang menceritakan nasib sial orang.  Keesokan harinya si pelaku perempuan menjadi musuh bersama para karyawan perempuan dan istri-istri karyawan. Semua mata memandang dengan tatapan menyelidik, wajah-wajah sok suci yang menghakimi mereka orang terkotor. Sementara karyawan yang lain menertawakan kebodohan mereka, kenapa bisa tertangkap Pertugas keamanan perusahaan. Yang lainnya berkomentar, "Bodoh, kenapa ngga bisa nahan untuk check in di Timika?"  Karyawan yang tidak mau ketinggalan berita, akan segera mengecek nama, wajah, departemen dan barak si pelaku asusila di portal perusahaan.

Salah satu gosip yang cukup heboh ketika ada berita salah seorang kapster di Salon Derry di Shopping Family tertangkap sedang berhubungan badan dengan karyawan beristri di dalam mobil Ford Perusahaan. Sang kapster dikabarkan stylist dari ibu pejabat tertinggi di Amolepura. Tanpa diperintah semua karyawan yang ingin tahu kelanjutan gosip ini langsung melihat data si kapster di website, datanya belum dihapus, berarti dia masih belum diusir dari Amolepura. Hingga beberapa hari kemudian, kami tidak menemukan data Mbak Kapster yang ramah. Mungkin Ibu Pejabat merasa tidak enak dianggap tebang pilih, terpaksa beliau harus mengalahkan kepentingan pribadinya untuk selalu terlihat cantik dan rapi dengan rambut sasak tinggi, ciri khas ibu-ibu pejabat Indonesia. Gosip lain beredar, Ibu Pejabat tetap mempertahankan sang mbak Kapster karena mbak ini piawai menata rambutnya tetapi kapster dari desa di JawTengah ini mengajukan pengunduruan diri, tidak tahan dengan tatapan sinis ibu-ibu di Amolepura. 

Di Amolepura ada kekuasaan “the invisible hand”. Mereka ini adalah istri-istri para karyawan yang mendapat perumahan di dalam Amolepura. Mereka berdandan seperti ingin pergi ke catwalk, walaupun hanya akan belanja keperluan sehari-hari di Hero di Komplek Shopping Family. Seolah-olah ingin berlomba-lomba memamerkan berapa besar gaji suami mereka dari tas, sepatu boot gaya dan pakaian trendy yang mereka kenakan. Kegiatan mereka hanya sekitar gym dan shopping Family, merakalah the invisible Goddes. Para istri karyawan itu, mempunyai kekuasaan super, mereka bisa memaksa manajemen memulangkan karyawati yang mereka anggap membahayakan stabilitaskeamanan dalam negeri rumah tangga mereka.Walaupun tidak semua ibu-ibu berhura-hura menghabiskan uang suami, ada sebagian yang menyibukkan diri di kegiatan keagamaan atau memasak untuk dijual di Cafe Honay.

Pak Komandan Penjaga Keamanan Perusahaan tadi melaporkan, mereka berdua sudah dijadikan target operasi karena ada beberapa orang yang melaporkan mereka. Aku ikut ngeri membayangkan nasib si gadis yang malam ini tertangkap melakukan hubungan seks dengan suami orang di barak karyawan pria. Apakah tidak tercoreng wajah orangtuanya, anak yang diharapkan menopang ekonomi keluarga di desa di Sulawesi, pulang dengan nama tidak terhormat. Kalau pun dia tidak didepak oleh managernya, dia harus tahan dengan tatapan mata-mata yang melabelkannya sebagai wanita jalang penggoda suami orang. Walaupun sudah rahasia umum, para pria di sini sangat agresif menggoda para perempuan lajang dengan segala teknik merayu yang mutakhir. Perempuan di Situs Tambang haruslah pintar menjaga kehormatannya tanpa harus dibilang sombong. Hah kenapa aku yang harus pusing memikirkan dia? Aku sudah dibuat sengsara besok Minggu harus menemani kolegaku ke kantor polisi di dekat Banti Waa karena kasus ini. Gadis ini sudah dewasa untuk bisa berpikir resiko dari perbuatan gilanya karena napsu asmara buta. Tanpa sadar aku sudah kembali tertidur. 



Tikus Gunung (ini memang dunia lelaki!)

$
0
0


Desember yang angkuh dan dingin mulai menunjukkan sifatnya. Setelah tadi pagi dia mengirim kabut putih pekat untuk menutupi gunung-gunung raksasa di sekitar Amolepura, sepanjang hari ini aku tidak diijinkan memandang barang sedetik pun warna hijau bercampur hitam keemasan gunung-gunung besar di hadapanku. Hanya putih yang kulihat dari jendela ini.  Kabut memutihkan Kamis ini.  Lihatlah, sang penguasa bulan makin menunjukkan keangkuhannya tanpa ampun! Menjelang siang dia menurunkan hujan lebat untuk menemani kabut. Putih, dingin, jangan harap ada warna lain muncul
wanagon 

Semalam pastilah hujan datang di sekitar mile 72. Orang bodoh pun akan tahu dengan mudah. Lihatlah, jalan aspal yang biasanya berhias kerikil, hari ini berubah warna menjadi coklat keabuan ditutup lapisan lumpur cair. Kabut, ah kabut, lama-lama aku bergaul akrab dengannya. Pagi ini dialah penguasa hari, gunung-gunung tidak dibiarkan tampil menjadi bagian dari pemandangan alam sekitar mile 72. Hari ini tidak akan berlalu seperti hari-hari lainnya, jam 5 sore nanti aku dan temanku harus mengunjungi lokasi kerja teman-teman kami di dalam gunung, karena itulah mereka menyebut diri “tikus gunung”

Sore hari, masih jam 6, tetapi kabut putih pekat yang sudah turun dan memenuhi lokasi, membuat aku merasa waktu sudah menjauhi malam dan menjelang pagi buta. Sejauh mata memandang dari kaca mobil, aku hanya melihat bangunan-bangunan berwarna hitam dan kabut. Gas putih ini berhasil memotong jarak pandang kami menjadi 7 meter. Di saat sebagian besar orang di belahan dunia lain sedang bergegas untuk pulang ke rumah dari gedung-gedung perkantoran, di sini, di pegunungan sekitar Amolepura, terasingkan dari dunia peradaban, para pekerja tambang bawah tanah gilir kerja malam dengan overall merah mereka menyeret kaki cepat-cepat ke gorong-gorong selebar  5 meter berlumpur berwarna abu-abu, tidak ingin terperangkap dalam dinginnya senja. Mereka menerobos kabut pekat yang kehadirannya semakin menambah kesan suram, dingin dan kaku. Perlengkapan mereka seperti prajurit siap perang : overal,  kacamata gogle, sepatu safety boot selutut yang berat, helm, dan membawa savox (kotak persediaan oxygen) seberat 7 kilogram serta lampu dan baterai seberat 5 kilogram.


Berada di sini, sungguh kita seperti terlempar dari mesin waktu beratus-ratus tahun  mundur  ke belakang. Aku tidak seperti berada di dunia yang sudah menginjak ke abad 21. Ada sensasi seolah-olah aku  berada di sket film-film tentang revolusi industri abad ke 17 seperti film "Oliver Twist" dari Charles Dickens yang pernah aku tonton saat SD atau film-film futuristis tentang bumi di tahun 3000 yang gelap dan minimalis. S-u-r-a-m. Ini memang dunia laki-laki. K-e-r-a-s. Tak terhitung ada berapa kata kasar “f..k” terucap dari mereka saat berbicara dengan rekan kerja. Kehadiran perempuan di sini,  mengingatkan mereka untuk bersikap sopan. Mengingatkan mereka, mereka hidup di dunia peradaban. "Hey, ada rambut panjang!" seru beberapa orang riang. Padahal saat itu rambutku kugelung di balik helm putih yang kukenakan. "Hey ada nona" yang lain menimpali. "Shut! there is a lady here!"sang boss berusaha mengingatkan pekerja expatnya yang barusan mengeluarkan kata "f..." Aku memperhatikan seorang bos expat tua gemuk melakukan "line up", membagi-bagi tugas kepada para bawahannya yang berdiri mengelilingi sang yang bos duduk di atas kursi plastik. Di gorong-gorong ini, diterpa angin dingin, gelap, mereka membagi tugas, mirip mandor dan pekerjanya. Kami seperti berada di dalam kulkas raksasa dengan angin yang keras menerpa wajah kami.

di dalam gunung
Ini harga yang harus dibayar. Berangkat kerja di saat sebagian besar orang di dunia normal beranjak beristirahat di rumah dengan keluarga masing-masing. Mereka baru  memulai hari, bekerja di tempat yang matahari, bahkan 1 berkas cahaya pun, enggan muncul. Melawan kantuk dan jam biologis manusia normal, di saat sebagian besar dari kami berlindung di balik selimut tebal dari dinginnya udara Amolepura. Mereka bekerja hingga subuh menjelang. Datang dan pergi ke lokasi kerja disambut mentari yang bersembunyi di balik kabut. Ini, memang harga yang harus dibayar! Tinggal jauh dari keluarga, demi mengumpulkan pundi-pundi uang. Belum lagi jika ada longsor di Mile 73, mereka harus menahan kerinduan meluruskan badan di kasur. Aku duduk di sini memperhatikan mereka. Pikiran terbawa ke cerita-cerita eyang putriku tentang eyang kakung, (alm.) Salim yang di jaman penjajahan Belanda bekerja sebagai Mantri Kehutanan, penyelia, pembayar gaji para kuli-kuli yang bekerja di hutan jati sekitar alas (hutan) roban,  Jepara dan Cepu. "Eyang Salim, jika kau lihat aku saat ini, apakah engkau bisa tersenyum? Aku  sama seperti Eyang, bekerja di balik hutan ini"

*dedicated to all "tikus gunung" somewhere in papua*

Garis hidup

$
0
0


Lelaki berbadan tegap itu duduk di depan bandara Moses Kilangin, Timika. Sesekali dia mengepulkan asap rokoknya ke udara Timika yang saat itu sangat panas terik hingga membuat kepala seperti terpanggang. Sepertinya matahari di langit sana beranak pinak. Sudah 1 bungkus rokok terbakar, beberapa kali mulutnya berbuih, mendekati orang-orang yang keluar dari Bandara untuk menggunakan mobil colt bututnya mengantar mereka ke tujuan. Orang menyebut jasanya taxi gelap, walaupun mobil colt itu dicat biru terang. Aku secara tidak sengaja melihat wajah itu sekilas. Lalu kuteruskan kembali membaca buku yang kutaruh di pangkuanku, sambil menunggu kolega menjemput. Seperti kilasan potongan film, tiba-tiba aku merasa pernah melihat laki-laki berewokan di samping mobil biru langitnya. Kali ini aku sengaja menoleh ke laki-laki itu, ia sempat melihat ke arahku sekilas. Dia, sepertinya juga mengenaliku. Mungkin dia juga menerka-nerka di mana pernah bertemu aku. Pada pandangan berikutnya, saat aku melihat dia ke arahku, dia langsung menutup mukanya dengan koran dan masuk ke mobil.  

Seperti mencoba mencari jawaban di dalam buku yang aku baca, aku membuka-buka halaman demi halaman, aku yakin wajah itu pernah aku lihat di Amolepura. Aku ingat sekarang, laki laki tegap dengan berewok itu adalah salah satu pekerja tambang di proyek Wanagon. Aku ingat setelah kembali dari cuti pertamaku, laki-laki berahang tegas ini sering mondar-mandir di kantor administrasi. Gosip yang kudengar dari pekerja perempuan di Meshall Flamboyan, yang juga satu daerah asal di Mandailing, Sumatera Utara, lelaki berkaos putih lusuh itu sudah dua bulan bekerja sebagai supir taxi gelap dengan penghasilan yang mungkin hanya 1/10 dari penghasilan sebelumnya. Entah pekerjaannya sebagai supir atau penghasilan yang berkurang yang telah mengubah wajahnya karena kerut-kerut yang muncul terlalu cepat. Gosip mengatakan dia dikeluarkan karena pelanggaran berat yang dia lakukan. Gosip lainnya bilang, dia suka berjudi hingga kehilangan rumah, keluarga dan uang tabungan, begitu cerita yang dituturkan  pekerja perempuan di Flamboyan yang pernah kutolong mendapatkan uang yang dipinjam lelaki berewok itu.  

Seperti biasa sepulang bekerja dengan bis orange, aku langsung ke Messhall Flamboyan untuk mengambil makan malam. Rutinitas yang aku lakukan setiap senja, menapaki jalan menurun dari halte bis Mulki ditemani suara gemuruh air sungai di sebelah kananku dan bau wangi Bunga Datura yang layu. Kak Barita tampak sibuk membersihkan meja di seberangku saat aku sedang mencari kursi kosong.
“Baru kelihatan Mbak Raisa? Habis balik cutikah?”
“Eh iya Kak Barita, sudah seminggu kok di sini”.
“Mbak, kenal sama Ruan kah? Sudah beberapa kali saya telpon dia tidak angkat”
“Uhm, saya ngga ingat semua pekerja, apalagi kalau dia non staf, coba nih tanya sama Pak Rizal, beliau IR di kantor saya, mungkin tahu” Aku memperkenalkan Kak Barita ke Pak Rizal. 

Sebentar kemudian Kak Barita pamitan, “Trims ya Mbak Raisa, alamak, saya tak tahu mau bagaimana, Bang Ruan pinjam uang saya 5 juta. Tahulah Mbak Raisa gaji saya berapa sih? Cuma kerja di Messhall. Uang itu saya tabung untuk bantu mamak saya di desa”
“Kok Kak Barita baik banget sih, percaya ngasih pinjam uang sebanyak itu?”
“Saya kenal orang tua Bang Ruan, kami masih satu desa. Masa iya saya tidak kasih? Uang itu katanya untuk biaya anaknya yang sakit di Timika. Ternyata dia bohong Mbak, saya baru dengar kabar dari istrinya, dia dan anak-anaknya sudah tidak di Timika. Pulang kampung!”
“Oh iya? Kenapa kak?”
“Istrinya bilang setiap hari ada preman datang ke rumahnya. Mungkin itu ya. Uhm, apa itu mbak istilahnya orang yang nagih hutang?”
Debt collector?”
“Ah itu! Malah kartu ATM Mandiri Bang Ruan sudah dipegang Debt collector, Bandar Judi Togel karena dia kalah ratusan juta”
“Togel?” Naluri keingintahuanku memaksaku untuk menahan Kak Barita. “Sini kakak, jangan pergi dulu. Togel itu apa Kak? Memang ada yang main togel di sini?”
“Mbak Raisa tak tahukah? Banyak yang taruhan togel, nomor buntut. Setiap minggu ada tarikan, kalau menang memang lumayan Mbak, apalagi kalau tepat 5 angka, bisa ratusan juta!”
Aku mengangguk-angguk, gagal mencerna cerita Kak Barita.
“Gaji mereka kan sudah besar ya Kak,  ngapain juga sih taruhan untuk yang ngga pasti, untung-untungan”
“Yah begitulah Mbak Raisa. Mau cepat kaya. Lagipula tidak semua orang mau kerja di sini berlama-lama. Siapa yang mau kerja penuh bahaya Mbak? Apalagi kalau jauh dari istri dan keluarga. Orang di sini kerja demi uang, begitu sudah punya rumah, mobil, mereka akan usaha entah ternak sapi, berkebun atau cari kerja di asal mereka”

Aku diam, menyesapi es krim dan  puding dimangkokku. Selama ini aku hanya mendengar rumor tentang banyaknya karyawan non staf di barak yang terasuki togel. Kadang-kadang aku melihat mereka membawa buku tulis kecil. Temanku bilang, buku itu berisi coret-coretan analisis asal-asalan mereka tentang nomor yang akan keluar sabtu malam atau catatan mimpi semalam. Terkadang telinga mereka menjadi tajam jika ada rekan kerja yang cerita mimpi aneh. Sejurus mereka akan menjadi ahli penafsir mimpi. Suatu sore saat menunggu bis pulang di Ridge Camp, aku iseng cerita.  

“Pace, kemarin malam saya mimpi melihat 5 angsa hitam di dekat 1 kapal besar, sepertinya di Pulau Tasmania. Artinya apa ya Pace, saya akan ke Australia lagi?”

Pace Korinus yang ada di depanku langsung mendekat, “Hai teman, ini ada mimpi bagus!” Teman-temannya datang mendekat. “Ah, ade nona, coba ko ceritakan lagi ko pu mimpi! Ko lihat apa lagi, ada pohonkah, mobil?”  Sejenak beberapa orang mengutak-atik angka di buku tulis yang tadi mereka taruh di saku celana belakang. “5-1-9-4..... 4-1-5-9.....9-1-4-5....1-4-5-9.....” Aku hanya bisa tertawa dalam hati, meninggalkan mereka yang sibuk menulis semua kombinasi angka. Akankah cerita Ruan membuat mereka sadar dari mimpi menjadi orang kaya dalam sekejap? Banyak yang bilang mereka akan berhenti jika sudah menang sekian ratus juta. Tetapi banyak yang gagal berhenti, jeratan pusaran khayalan menjadi kaya hanya dengan membeli nomor togel mungkin telah menjerat mereka. Setiap malam mereka tidak dapat tidur nyenyak menunggu wangsit angka yang akan menang dalam tarikan togel di akhir pekan.

Ruan terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya karena melakukan kesalahan berat saat melakukan “blasting” yang menyebabkan kecelakaan berat rekan kerjanya. Siapa yang dapat tidur nyenyak jika dikejar-kejar bandar untuk melunasi hutang ratusan juta? Garis hidup laki-laki itu begitu tragis, seperti drama dalam kisah film. Hidup sesungguhnya adalah taruhan terbesar yang kita lakukan tiap saat. Manis pahit cerita dalam hidup kita ditentukan oleh keputusan yang kita ambil sebelumnya. Di dalam bis mataku menerawang ke langit senja yang menaungi gunung-gunung di Amolepura. Sungguh paduan warna orange-putih-biru muda-abu-abu yang indah seperti lukisan Van Gogh. Pemujaanku pada lukisan Tuhan di Amolepura ini terusik dengan lagu Judi dari Roma Irama yang datang tanpa permisi merasuki gendang telingaku.

             Judi (judi), menjanjikan kekayaan
             Bohong (bohong), kalaupun kau menang
             Itu awal dari kekalahan
             Bohong (bohong), kalaupun kau kaya
             Itu awal dari kemiskinan
 
Semakin kuusir lirik lagu ini dari benakku, semakin menguat kata-kata Roma Irama dan bayangan grup soneta menggerakkan gitar ke kiri dan ke kanan sesuai hentakkan irama. "Ah sial!" langsung kututup telingaku dengan ear phone lagu Borrowed Heaven dari The Corrs jauh lebih bagus untuk ritual pulang kerjaku menikmati senja di sepanjang jalan. 

Menggadai Nyawa (1)

$
0
0


Mobil kami mulai menuruni jalan memasuki mile point 71.  Jalan menurun ini menjadi satu dengan jalan di sebelah kiri  tepat di Mile Point 71. Tak jauh dari MP 71 terdapat bangunan sementara markas penjagaan tentara Indonesia dan sebelah kanan terpal-terpal seperti rumah suku nomaden Mongolia yang menjadi markas penjagaan polisi (BriMob). Di depan hanya putih buram kabut dan samar-samar mataku masih melihat bayangan warna hijau yang kuduga pohon-pohon besar di dasar gunung-gunung. Jarak pandang mobil hanya sekitar 7 meter ke depan. Sepanjang jalan aku berdoa, karena diantara miles point 71 dan 70 kami melihat mobil dan truk bertabrakan, truk nyaris terjun ke jurang jika tidak terhalang pipa. Nasib, siapa yang tahu? Itu ada di genggaman Tuhan. Hujan kali ini lumayan deras. Di Amolepura hampir setiap jam gerimis datang tanpa diundang, tetapi jarang menjadi hujan deras seperti di  Jakarta. Keluar dari terowongan Zakham, tidak seperti biasanya aku melihat antrian mobil putih memanjang di depan kami. 

“Wow, gue pikir di sini ngga pernah ada macet” aku terperangah. 
“Perasaan saya ngga enak nih!” Lindi menyahut.
“Ada longsor kah hari ini?” Pak Joshua, rekanku yang bekerja di bagian IR langsung mengontak koleganya di Unit Keamanan Perusahaan.

Kupikir setelah melarikan diri dari Jakarta aku tidak akan melihat kemacetan seperti ini. Tapi aneh aku malah menikmati terjebak di tengah gunung-gunung ini. Kami menyimak pembicaraan Pak Joshua di telpon.

“Kenapa pace?” tanya Robbie yang menyupiri mobil Ford putih yangg kami tumpangi.

“Longsor parah! Ada batu besar jatuh di depan, sekarang tunggu dozzer untuk mengangkat itu batu” 

Kami langsung saling menatap. Ini pengalaman pertamaku terjebak macet karena batu sebesar truk jatuh di tengah jalan bersama materi-materi kecil dan pohon yang menghalangi pengguna jalan. Pak Joshua langsung menghubungi Bagian K3 kantorku untuk menginformasikan longsor di dekat Mile point 69. Sudah pasti pekerja gilir malam yang sedang di tengah jalan tidak bisa bekerja. Kami langsung tercenung dan menghibur diri dengan telephon masing-masing. 

“Nih dengar ya sa pu cerita” Lindi nampak senyum-senyum memecah keheningan di dalam mobil. Di Papua sini kami terbiasa untuk berbagi cerita Mop Papua untuk mencairkan keadaan yang kaku dan menghibur teman-teman. Lindi bukan orang Papua, dia asli dari Menado tapi ayahnya dulu adalah karyawan di sini dan dia pernah tinggal di Amolepura waktu kecil.
“Sa mulai ya? Sa mau cerita sa pu teman, Yaklep. Yaklep, semakin hari semakin nakal saja di sekolah, padahal dia su kelas 3 SMP mau ke SMU, tapi dia pung malas saja minta ampun. Satu kali Yaklep tra pi sekolah, dan esok harinya ibu guru marah dan tanya  ke Yaklep. Yaklep, kenapa kemarin ko tra masuk sekolah? Yaklep dengan masih menunduk menjawab, Sa sakit Ibu! Ibu Guru bingung, Ko ini, kenapa tra kirim surat? Yaklep balas jawab, Percuma saja ! Nanti ibu juga tra mungkin balas mo....?”

Kami di dalam mobil tertawa-tawa melupakan penderitaan menunggu alat-alat berat membersihkan jalan akibat longsor parah.  Pak Joshua tidak mau kalah. 

            “Ah sa ingat satu cerita. Ada pace satu mau naik taksi di Timika..”
            “Taksi? Ada taksi kah di Timika?” tanyaku memotong cerita 

           “Ah mace, ko tra tahukah? Di Timika tong sebut angkot itu taksi!” Linus tertawa-tawa 

        “Itu sudah, sa lanjut lagi ya?” Pak Joshua melanjutkan ceritanya, “..tapi Pace Natalis tra bole dikasi naik sama sopir karena bawa anak babi. Lalu Natalis kasi masuk anak babi ke dalam karung baru kasi stop taksi yang lain. Si supir taksi tanya ke Pace Natalis itu apa di dalam karung? Pace Natalis kasih jawab Nangka pace. Supir langsung jawab ooh, naik sudah. Pace Natalis pun naek. Di dalam taksi terdengar suara babi ngorok, groook, groook. Satu taksi kaget semua. Supir marah sambil menengok ke belakang. PACE!! Ko bohong! Tadi ko bilang itu karung isi Nangka! Pace Natalis malu tapi dong tra hilang akal, ah, tidaaaa,  sa tra bohooong. Itu sa pu babi memang namanya Nangka”

Kami semua tertawa-tawa. 
         "Hahahaa Kak Joshua, ko bole!" Linus mengacungkan jempol ke bosnya. 

            “Ada satu lagi. Ada satu Pace, Alpeanus pu anak Yeremias, dong tanya dong pu anak yeremias kenapa ko menangis?  Yeremias bilang ibu guru bilang sa bodoh Bapa. Yeremia bela dong pu anak, ko tra bodoh! Sa beri pelajaran itu oyame tra sopan!!! Pace Alpeans bawa parang ke rumah ibu guru. Di depan rumah guru, keluar laki-laki tegap memakai seragam tentara. Pace tentara tanya, meno ada apa kau kemari bawa parang? Melihat suami bu guru tentara indonesia, ciutlah nyali Pace Alpeanus. Pace Alpeanus jawab ah trada apa-apa bapa, sa mau tanya jadwal kerja bakti kapan?”

            “Hahahaha” aku dan teman-teman tertawa. 

Temanku Linus tidak mau kalah, “Ini sa pu cerita. Pace Koletius pergi ke pace dokter. Sampai klinik dokter dia bilang, “Bapa doser, saya takis, su demam 3 hari. Pace Dokter jawab saya periksa dulu ya. Dokter memeriksa dengan termometer dan kemudian menyiapkan jarum suntik. Korinus takut lihat jarum suntik dia bilang bapa doser, saya takut disuntik, ko taruhlah itu obat suntik di dalam gelas, lalu saya minum, sama saja to?”

Dua setengah  jam lebih di tengah-tengah kepungan gunung-gunung, menunggu buldozer membersihkan jalan akibat longsor. Beberapa orang turun dari bis sudah tidak tahan terjebak karena longsor di tengah malam minggu yang dingin. Sementara kami sudah membayangkan diri pulang cepat dan memanjakan masakan Indonesia yang lezat hasil olahan istri-istri karyawan yang dijual di Cafe Honai. Dari sore tadi di kantor aku membayangkan Coto Makassar, Pisang Hijau, Bakso unyil Bandung dan wedang ronde. Kami di dalam mobil sini sudah mati gaya. Aku chatting di msn, update status di Facebook, dengar teman di mobil cerita humor papua, sampai chatting dengan teman-teman SMA di Jakarta melalui bbm Grup yang membahas artis yang selingkuh. 




Dalam keadaaan seperti ini smarthphone memang benar-benar menjadi sahabat terbaik bagi mereka yang berada di daerah terpencil untuk tetap terkait dengan dunia luar sekaligus tidak mati gaya, seperti keadaanku saat ini. Tiga puluh menit kemudian aku merasa ada di dalam setting film horor Hollywood, di tengah-tengah Pegunungan Tengah, hutan Papua, hujan, gelap, kabut, dan para kolega pria di dalam mobil menambah kengerian dengan berbagi cerita kisah horor yang terjadi di sekitar Amolepura, seperti seringnya penampakan dan suara-suara aneh di Barak laki-laki dan Mile point 74 di bawah gunung-gunung sana.

“Ini masih berapa lama lagi ya Pak Josh?” tanyaku memecah kesunyian. Saat beberapa temanku mengantar Lindi buang air kecil di tengah jalan, karena tidak bisa menahan air seninya. 

“Saya terima informasi dari Unit Tanggap Darurat saat ini sudah ada 6 alat berat yang sedang membersihkan batu dan tanah yang menutup jalan di Mille point 69"

Aku berpikir apakah harus berjalan seperti teman-temanku? Masih ada 1 mil lagi. Itu setara dengan 1609 meter lagi, di tengah hujan, lumpur, dingin dan jalan yang licin. Teman-temanku yang tadi sudah jalan meninggalkan bisa bilang ada 1 pohon besar yang tumbang, salah satu teman kami, Nila jatuh karena jalanan sangat licin di dekat batu besar yang jatuh di tengah jalan. 

“Mungkin sekitar 30 menit lagi Raisa, sabar ya, kita tunggu informasi lebih lanjut dari Unit Tanggap Darurat” jelas Pak Joshua seperti bisa membaca pikiranku. 

Aku tahu, resiko seperti ini akan aku hadapi saat memutuskan akan bekerja di sini. Jadi lebih baik aku diam dan tidak memberitahu ibuku. Apalagi aku dulu yang tetap keras kepala pergi ke Papua walau Ibuku sudah berusaha menahanku dan mempengaruhi kesembilan kakak laki-lakiku menerima tawaran kerja di Papua. Aku malah takut ibu tidak bisa tidur karena khawatir yang berlebihan. Ibuku itu mudah panik. Yang tidak bisa aku tahan untuk tidak update di status Facebookku, "Terjebak di tengah pegunungan! LONGSOR!!!" Dalam hitungan detik teman-teman Facebook pun ramai berkomentar dan mendoakanku. Ada juga yang melucu menyarankan aku membeli jagung bakar dan teh hangat. 

“Lo pikir ini Puncak, San?” aku ketik komentar di facebook dengan emoticon tertawa. 

Untunglah sekitar 20 menit kemudian kami sudah bisa jalan. Aku baru tiba di barack C lewat dari jam 9 malam dalam keadaan lapar, lelah, kaki kesemutan dan kedinginan. Bagaimana caranya menenangkan perut yang keroncongan, sementara messhall sudah tutup dan jajanan di Cafe Honai sudah habis? Aku hanya bisa berkhayal saat ini ada jajanan yang lewat mie tektek atau bakso malang lewat di depan Barrack. Segera kupendam khayalan tak sehat ini. Saat aku bersikeras dan meyakinkan Ibuku aku akan baik-baik saja bekerja di daerah terpencil ini,  aku sudah sadar akan semua resiko dari keputusan yang aku ambil. Bukan hanya petualangan, gaji besar dan kisah seru yang akan kutulis menjadi novel. Bekerja dan hidup di Amolepura berarti siap menggadaikan nyawa. Ada banyak resiko yang harus kami hadapi, resiko alam yang sering longsor jika hujan deras, bahaya bekerja di ketinggian, keracunan gas, penembakan tidak jelas dan lain-lain yang tidak ditemui para pekerja di Sudirman Jakarta. Terbayang jika mobil kami pulang lebih awal 30 menit tadi sore. Tuhan masih baik, Dia masih  memperpanjang masa hidupku. Di bawah pancuran air hangat, aku mulai berandai-andai. Bagaimana jika batu besar itu jatuh menimpa mobil kami? Apa yang terjadi jika batu besar itu jatuh di depan mobil kami dan Robbie tidak bisa mengendalikan mobil sementara jalan di sini sempit dan sebelah kanan jurang? Tuhan masih melindungi kami. Aku memutar kran air seolah ingin mencuci otakku yang berpikiran horor.

Jim

$
0
0

Raisa duduk di meja ujung tengah di messhall, ruangan makan berukuran sekitar 10 kali 10 meter. Meja ini tempat persembunyian terbaik bagi gadis penyendiri ini sambil mengamati karakter orang yang lalu lalang menuju meja-meja di sekitarknya. Gadis berambut bergelombang ini kelihatan menikmati makan malam di salah satu kursi yang membuatnya leluasa melihat hiruk pikuk orang-orang di sini. Semua duduk berkelompok dengan teman-teman berjaket sewarna dan seseragam. Jika seragammu beda warna, lebih baik sembunyikan diri dan nikmati saja makan malammu sambil pura-pura sibuk dengan blackberry atau alat komunikasi lainnya. Saat ini Raisa begitu terhanyut dengan puding campur ice creamnya, hingga saat dia iseng menoleh ke sebelah kanan, otaknya sepertinya tidak mempercayai pemandangan yang dilihat mata kecilnya di meja sebelah kanan. 

Sudah lebih dari 45 malam Raisa makan di messhall Flamboyan, tetapi sepertinya belum pernah melihat sosok ganteng lelaki berkacamata yang sekilas mirip Superman sebelum berganti kostum. Sungguh, dia terlihat berkelas dan pintar, hal yang jarang kau temui di situs tambang ini. Demi ingin memastikan yang dialihat bukanlah khayalan tingkat tingginya, kembali dia melirikkan mata kecilnya yang tajam ke meja sebelah kanan. "Ah, lelaki berparas rupawan dengan kemeja biru muda dan celana jeans biru tua! Sungguh pemandangan yang jarang, menemukan lelaki metrosexual di sini" Raisa memuji penampilan laki-laki yang baru ia lihat. 

Sekali lagi Raisa diam-diam mengamati si laki-laki metrosexual ketika Jim, lelaki Melbourne berambut brindil kusut bak penyanyi reggae itu berdiri di dekat mejanya.

"Hey, long time no see you! May I join?"

Raisa segera menghentikan curi-curi pandang pada lelaki mirip Superman di samping kanan. Jim, lelaki yang dia kenal setelah beberapa kali berpapasan di messhall dan saling melempar senyum. Hingga suatu hari senyum mereka terasa basi, Jim kemudian memberanikan diri menyapa 'hi" dan Raisa memuaskan rasa ingin tahunya, bagaimana seorang bule (yang kemudian dia ketahui keturunan cekoslovakia) seperti Jim  mempunyai rambut seperti rasta mania,. Seiring dengan waktu, akhirnya mereka berdua seperti kawan lama.  Setiap saat bertemu mereka berbicara berbagai macam hal, terutama nostalgia tentang Melbourne dan musik-musik rock tahun 1990an. Mereka mempunyai idola band alternative-rock yang sama, Pearl Jam, Smashing Pumpkin dan Nirvana. Berbicara dengan Jim, seperti berbicara dengan orang yang telah Raisa kenal lama. Tidak ada basa-basi seperti pria-pria Indonesia yang mengajaknya berkenalan. 

Raisa bisa terus-menerus berbicara tentang petualangannya ke beberapa negara, tentang buku-buku yang ia tulis, dan Jim mendengarkan dengan sesekali bercanda, "Wow, I never meet a writer, u such a rock star, Raisa!" Sungguh, lelaki rumahan seperti Jim, lelaki yang suka tampil apa adanya dan tidak terlalu gym-minded adalah tipikal laki-laki yang Raisa suka. Sementara kolega expatriat yang sering mendekati dia kebanyakan laki-laki gym-minded, lelaki yang hobi ke gym hanya untuk membanggakan biseps dan perut 6 kotak. Sosok dan karakter Jim sangat cocok dengan tokoh lelaki baik-baik idaman wanita di film-film romantis hollywood. Seorang konsultan geotechnic yang tidak menonjolkan kesan ada otak Einstein di kepalanya. Lelaki manis berambut gimbal ini, tidak peduli dengan penampilannya. Tidak peduli harus menjaga badan ke gym, dan baju yang dia pakai setiap malam sweater hitam, kaos putih dan celana cargo warna kaki. Lelaki penyayang binatang dan humoris. Sungguh beruntung siapa pun yang menjadi pacarnya. Dia bukan tipe lelaki yang merasa dirinya ganteng hingga terlalu congkak untuk berkenalan atau tersenyum pada perempuan yang berpapasan dengannya.

Raisa tidak tahu pasti kapan tepatnya dia dan Jim berkenalan. Tapi Raisa tahu, sosok Jim yang unik, pria bule usia akhir duapuluhan berwajah anak baik-baik dan sangat manis, dengan rambut coklat gelap gimbal, seperti penyanyi reggae telah menyedot perhatiannya. Kalau tidak salah ingat, pertama kali  Raisa  melihatnya di messhall Ridgecamp dekat kantornya di atas sana di Mile 72 saat makan siang, tentang tanggal persisnya Raisa lupa. Sejak saat itu Raisa dan si manis berambut gimbal sering berpapasan di Messhall Flamboyant di mile 68 saat makan malam. Dimulai dari Jim menyunggingkan senyum bibir merahnya, yang tentunya dibalas Raisa dengan senyuman tak kalah manis. Kemudian setelah beberapa kali balas membalas senyum, Jim mulai menyapa hai. Hingga suatu makan malam, entah bagaimana mulainya Jim dan Raisa  mempunyai percakapan seperti sahabat lama yang baru bertemu. Rasanya bukan suatu kebetulan jika Jim  berasal dari Melbourne dan Raisa pernah tinggal di sana. Mereka berdua langsung akrab dalam percakapan random. Tanpa mereka sadari, Jim dan Raisa terbiasa untuk bercakap-cakap dan tertawa di jam makan malam. "Aku harus bersyukur karena Tuhan mempertemukan aku dengan seorang teman seasyik dia, di sini, di pedalaman Papua" pikir Raisa dalam hati di suatu malam. 

Malam ini seperti biasa, jam 18.30, setelah turun dari bis Oranye di Mulki, Raisa bergegas ke Messhall Flamboyant. Hari ini ada menu Bakso dan puding roti. Menemukan menu masakan Indonesia yang enak di sini adalah suatu anugrah yang harus disyukuri. Selesai memenuhi nampannya, Raisa melempar pandangan ke penjuru ruangan makan ini, mencari sosok yang dia kenal. Aha, si rambut brindil sedang duduk di “meja mereka”, meja di ujung sebelah kanan dekat pintu keluar.

“Hi Raisa, how is your day?”

Fine, Jim, how's yours

Jim bangkit membantu menarikkan kursi untuk Raisa. 

Raisa segera duduk di kursi tepat di depan Jim dan langsung menikmati bakso ikannya.

“Uhm, Jim, aku mau curhat nih, tentang cowok di kantor”

Jim langsung memasang mimik muka serius, “Ok, sounds interesting, terus...”

Raisa dengan malu-malu menceritakan pertemuan pertamanya dengan Finn, lelaki aneh di kantornya.

“Mungkin dia suka kamu Sa. Anyway, kamu kenal laki-laki botak di belakang kamu?” tanya Jim   sedikit  menundukkan kepalanya.

“Kenapa?” tanya Raisa sambil menambahkan bubuk merica ke mangkok.

“Dia beberapa kali menoleh ke meja ini”

“Oh ya?” penasaran Raisa menengok ke meja belakangnya.

Tepat saat Raisa menolehkan kepalangya ke belakang, matanya bertumbukan dengan mata dingin Finn yang sedang duduk di belakangnya. Raisa diam, dia mengeluh dalam hati, "Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kepala plontosnya!" Seketika Raisa berdoa semoga suaranya tadi tidak terlalu keras saat bercerita tentang Finn ke Jim.

“Hi, Finn” Raisa menyapanya dengan suara termanis

“Hi, How are you?” sapaan yang di telinga Raisa terdengar seperti suara mesin penjawab telpon, karena kalimat itulah yang selalu keluar saat Raisa dan Finn berpapasan, diucapkan dengan nada datar tanpa intonasi. 

Dua detik yang hening. Raisa memutuskan untuk menyelamatkan diri dari situasi aneh ini, “Well, enjoy your dinner, Finn!

Raisa kembali ke posisi duduknya, menghadapi makan malamnya. Jim terlihat senyum-senyum sambil menyelidik ke mata gadis manis di hadapannya. 

What?” tanya Raisa mendelikkan mata menyembunyikan rasa malu di bibirnya yang masih menyungging senyum. 

“No, I just saw something awkward between you and him” Jim mengedipkan matanya.

“Psst, kamu bisa diam dulu ngga sampai dia pergi?” suara Raisa setengah berbisik. 
Viewing all 105 articles
Browse latest View live