Orang bilang jodoh itu ada di tangan Tuhan. Uhm..." Raisa menghela nafas panjang sambil mengaduk-ngaduk coklat hangat di depannya. "Tapi kenapa cerita cinta gue mirip-mirip sinetron Indonesia ya? Gue harus main belakang sekedar hanya untuk bertemu dia?" Raisa membathin, 'Sial!"
Sore ini dia menanti si laki-laki aneh yang tanpa diduga berhasil mencuri hatinya. Cinta memang kadang-kadang seperti pencopet handal di Paris Gare du Nord. Cinta datang diam-diam secara laten seperti ada kekuatan halus yang menghipnotis hingga tanpa kita sadari dia telah mencuri setengah dari hati dan jiwa kita. Harusnya tempat ini tempat yang aman untuk bertemu, karena tidak semua orang pergi ke Cafe Lups. Cafe Lups adalah tempat dugem, tempat pesta dan pelatihan eksklusif acara kantor dan juga restoran di kawasan Amolepura. Raisa bukan tipikal gadis-gadis yang sering mampir ke club Lups untuk melepas stress dan kebosanan dengan minuman alkohol apalagi tipe tipe gadis-gadis yang mencari laki-laki ekspatriat di Amolepura. Dia pernah ditertawakan koleganya dari Australia.
"For God's sake? Orange juice? I can buy you vodka, or the most expensive liquor you want"
Raisa hanya senyum-senyum malu, kolega expatriate yang semuanya laki-laki langsung menatap wajahnya takjub, sebelum kembali menatap TV plasma yang menayangkan pertandingan Australia Football. Ini kawasan kantor, dia harus pintar-pintar menjaga diri.
"Apalagi kalau minum alkohol, sholat ngga diterima 40 hari" pikir alasan Raisa ke koleganya.
"Itu si Mimi minum coctail Raisa, padahal dia kuliah di Al Azhar lho" bujuk koleganya dari Jakarta. Raisa hanya senyum-senyum. Hidup terkadang ironis memang, anak seorang guru agama yang bersekolah di Universitas Islam, dengan cueknya merokok dan sering minum minuman yang mengandung alkohol. Sementara dirinya pernah dicap Islam abal-abal karena orangtuanya menyekolahkan dia di Sekolah Katolik. Begitulah manusia sering berlaku melebihi Tuhan, menghakimi orang padahal tidak diberikan kekuatan melihat kalbu manusia.
Raisa sedang melihat-lihat foto-foto hasil jepretannya di acara pelatihan fotografi yang dia ikuti sepanjang hari Minggu ini, ketika Greg, kolega dari Sydney menghampirinya. Cetia Duwiry, teman Papuanya asal Jayapura pernah mengingatkan laki-laki expat yang terkenal playboy, dan Greg ada di dalam daftar itu.
"Hi, I never saw you at office, are you sure you work at same company with me? How come cute girl like you stranded at jungle like Amolepura". Raisa hanya melirik sekilas dan tersenyum. "Rayuan maut macam apa barusan itu? Jago spik!" tawa Raisa dalam hati. Mungkin inilah yang menyebabkan dia makin terhanyut menyukai Finn, sosok laki-laki satu diantara sejuta.
Greg menarik kursi tepat di samping Raisa, "Boleh lihat dooong" Raisa spontan menoleh. "Wow udah jago bahasa Indonesianya?" "Greg" laki-laki berambut pirang ini mengulurkan tangan kanannya, "electrical". "Raisa, HRD". Tanpa diminta Greg sudah asik melihat foto-foto model yang didatangkan dari Bandung di acara pelatihan fotografi. "Cantik ya, tapi kamu lebih real" Tawa membahana dari mulut mungil Raisa. "Yaiyalah, saya lebih real, Greg! Saya ngga secantik dia! hahaha" Greg tersenyum. Ah jika ini film kartun, ingin rasanya raisa menghantamkan palu besar ke kepala Greg dengan latar belakang suara "tung tung tung"
Dalam hati Raisa menyesal telah memilih tempat ini untuk bertemu dengan Finn. Maksud hati ingin mencari tempat pertemuan yang tidak diketahui banyak orang, karena gosip cepat menyebar di Amolepura, sepertinya kabut yang menyeliputi lembah yang dikelilingi gunung-gunung batu ini cepat menyerap semua gosip yang ada di Amolepura dan menyebarkannya ke seluruh penjuru wilayah hunian tambang ini. Tapi bertemu di Cafe Lau Lau di Family Shopping juga bukan pilihan yang tepat. Karena sering bertemu di situ, ada satu kolega kantornya yang menjadi provokator dan menyebarkan gosip ke bos Raisa yang memang mengidolakan finn selama 4 tahun bekerja di sini. Akibatnya Raisa selalu dibully di kantor.
Dia mulai melihat sekeliling, hampir semua expatriat di kantornya memenuhi klub Lups, dan mereka seperti kaget melihat sosok baru, Raisa, ada di klub ini. "Sebentar lagi mereka akan lebih kaget saat melihat Finn menginjakkan kaki ke tempat ini" Raisa mulai ketakutan gosipnya akan merebak ke kolega expatriat.
"Coba lihat foto-foto saya Raisa" Greg mengeluarkan I phonenya dan menggeser kursinya lebih dekat. Raisa mulai merasa kurang nyaman, apalagi bergantian teman-teman Greg yang tadi asyik bermain bilyar datang menggoda ke mejanya. Satu kolega dengan bau bir menyeruak dari bibir, datang mendekat. Raisa mulai berdoa berharap Finn segera datang menyelamatkan dia dari para lelaki tambang yang haus melihat perempuan. Laki laki dengan badan besar yang sekarang berdiri di dekat Raisa sepertinya dari New Zealand, karena tadi di depan meja bilyar dia meneriakkan kata-kata yang biasanya diteriakkan supporter "All Black", tim futbal New Zealand. "Sepertinya tipsi nih bule" Raisa mulai menjorokkan badannya menjauh.
"Holly Molly!!! Hi honney, what are you doing at this f..king place??"
Entah ada berapa kata sumpah serapah berawalan F dari mulutnya. Teman-temannya hanya tertawa. Laki-laki ini mulai limbung dan dia makin menggila karena Raisa tidak bersuara.
"Where have you been Cinta?" bau bir makin tercium dari mulut bule mabuk ini. "Ah kata cinta sepertinya kosa kata pertama yang paling dihapal bule-bule di kawasan tambang ini" Raisa masih bisa menertawakan bule ini di dalam hati, berusaha untuk tidak memperlihatkan muka ketakutan. Dia pernah mengalami yang lebih parah, didekati karyawan-karyawan yang mabuk di pesta akhir tahun kantor yang memegang-megang pipinya yang halus.
"Hey, stay away from this lady" suara robot itu sudah Raisa kenal. Finn berdiri di depannya, dengan jaket abu-abu "Nike" yang tidak pernah dia lihat. Finn memang bukan ksatria berkuda putih dengan pedang berkilatan di tangan. Dia hanya laki-laki Amerika kurus dengan satu kardus Pizza di tangan. Tapi di mata Raisa, malam itu Finn menjelma seperti ksatria berkuda dengan bayangan sinar dari lampu Lups. Seketika gerombolan bule-bule ini menyingkir dari meja Raisa, Greg menarik kolega New Zealandnya yang mabuk ke meja lain. “
“Already have dinner? I have pizza for you Raisa" Finn mendaratkan pantatnya tepat dikursi di hadapan Raisa. Dia meluruskan kakinya. Tiba-tiba Raisa melihat bintang di mata Finn.